EMPAT

1 0 0
                                    

Tubuhku sedikit menegang mendengar suara sapaan yang melewati depan rumah kakek. Kepalaku tengok-tengok mencari keberadaan kedua kakak beradik itu. Gadis yang baru kuketahui namanya adalah Ayu, meninggalkanku sendiri. Dia tidak bilang akan kemana perginya. Walau sudah mengenal dan sedikit terbiasa. Tetap saja, makhluk transparan itu sangat menyeramkan. Lidahku berdecak kesal, merutuki mereka berdua yang terlalu lama pergi. Mungkin sebaiknya aku sendiri yang mencari mereka. daripada duduk berdiam diri di sini tanpa kepastian sama sekali. Kali saja bisa menemukan mereka yang ternyata menyangkut di suatu tempat dan lupa dengan keberadaaanku.

Aku mulai meninggalkan teras rumah kakek. Berjalan berkeliling desa, kepalaku mencari kesana-kesini keberadaan kedua kakak beradik tersebut. Namun aku mulai penasaran dengan tempat terlarang yang sebelumnya pernah kami lewati. Hati kecilku menggelitik untuk mencari tahu. Melihat seorang kakek-kakek yang sedang berdiri sendiri dengan dagangannya. Ternyata tidak hanya jago menakuti manusia, tapi jago juga dalam berjualan. Barang yang di jualnya terlihat unik sekali. Pernak-pernik gelang dan kalung yang terbuat dari dedaunan, batu dan serat kayu.

Aku mencoba untuk menanyakan tentang jalan terlarang itu. Ternyata kakek penjual itu dengan ramahnya melarangku untuk memasuki Kawasan tersebut. Karena tempat itu untuk manusia sepertiku sangatlah disukai oleh beberapa makhluk yang menetap di sana. Tidak hanya itu saja, kakek penjual juga bercerita Sebagian dari mereka juga tidak berani masuk ke sana. Karena kekuatan yang mereka miliki tidak begitu besar.

"Memang suram dan mencekam," ucapku pada diri sendiri.

Tidak lama kemudia, cowok yang kukenal berjalan masuk ke tempat terlarang itu. Mengingat ucapan dari Ayu. Hanya kakaknya dan kakeknya yang dapat masuk ke dalam sana. Aku tersenyum lebar, menemukan ide cemerlang untuk mengetahui tempat apa sebenarnya.

Saat melewati garis perbatasan desa dengan jalan tersebut. Angin kencang menerpa wajahku. Tubuhku langsung tegang dan merinding hebat. Aku seperti merasakan beberapa mata memerhatikanku tanpa lepas. Tanpa memedulikan aku berjalan pelan dan memastikan cowok itu masih berada di depan tanpa sepengetahuannya.

"Serem banget." Telapak tanganku menggosok kedua lengan untuk menghilangkan merinding di tubuh.

Sepanjang jalan setapak hanya ada hutan lebat. Setiap batang pohon satu sama lain sangat rapat. Beberapa kali aku melihat sepasang mata merah dan bola api di sela-sela dahan pohon maupun batang.

"Kenapa jadi dingin gini."

Dari kejauhan cowok itu masuk ke sebuah pemukiman. Sepertinya itu sama seperti Desa Parvati. Tapi kenapa suasanya tidak begitu ramah. Makhluk di sana seperti mendapatkan santapan langka saat melihatku masuk.

"Lihat ada manusia."

"Iya manusia."

"Wah... dia harum sekali. Bakalan enak nih."

"Kita sikat saja."

Mendengar percakapan mereka malah membuatku panik. Beberapa makhluk sudah ada yang berani mendekatiku. Saat aku mencari keberadaan cowok itu. Aku malah kehilangan jejaknya. Tidak mungkin aku berbalik kembali ke desa, bisa jadi sebelum sampai sudah dihabisi. Hanya itu satu-satunya cara.

"Jangan mendekat!" peringatku.

Mataku melihat sebuah makhluk berbulu hitam mendekatiku.

"Sudah kuperingati jangan mendekat. Tanggung sendiri akibatnya."

Makhluk itu tidak memedulikan peringatanku. Terus saja mendekat.

Dengan jarak cukup dekat. Aku menendang lututnya kencang. Setelah berlutut di depanku, tanganku langsung kutempleng kepalanya. Suara kesakitan keluar dari mulutnya.

Beberapa makhluk menatapku tidak percaya akan perbuatanku.

"Kan sudah kubilang tadi. Inilah akibatnya," ucapku.

"Jangan mundur. Dia hanya sendiri. Dia kalah banyak."

"Benar, kita keroyok dia."

Melihat mereka menyeringai seram dan semakin merengsek maju. Aku langsung lari menjauhi mereka. Setiap kali melihat benda yang dapat di lempar akan kulemparkan pada mereka. Tapi sayang, saat akan mengangkat benda seperti bola basket. Tanganku merasakan benda ini terlalu kenyal. Saat di putar ternyata sebuah kepala dan matanya melotot ke arahku. Spontan aku lempar saja ke mereka yang masih mengejarku.

Aku berlari mencari keberadaan cowok itu. Beberapa kali aku mencoba menghindar dari tangkapan mereka. Sampai sudut mataku menangkap keberadaan cowok itu masuk ke dalam sebuah gubuk.

Saat aku berlari menuju gubuk itu. Mereka berhenti mengejarku. Spontan aku berhenti di tempat. Menatap keheranan melihat mereka mundur menjauh. Seolah mereka takut dengan pemilik dari gubuk ini. Kalau di lihat, gubuk ini tidak ada istimewanya. Sama seperti gubuk-gubuk yang ada di Desa Parvati. Aku menggedikkan bahu tanda tidak perduli. Lebih baik aku menemukan cowok itu dan meminta membawaku untuk pulang.

Suara keras dari dalam membuatku berhenti tepat di pintu gubuk. Sepertinya mereka sedang membicarakan hal serius. Tapi percakapan mereka tidak terdengar olehku. Aku menempelkan kupingku ke daun pintu agar dapat mendengar lebih jelas. Tiba-Tiba, pundakku terdorong masuk ke dalam.

"Ternyata ada tamu."

"Kamu ngapain disini?" tanya cowok itu dengan wajah panik bercampur cemas.

Melihat raut wajah cowok itu membuatku sadar. Aku tidak seharusnya berada di tempat seharusnya berada.

Nenek tua yang berada di depanku ini memegang sebuah tongkat Panjang di tangannya. Wajahnya dipenuhi keriput dan benjolan di beberapa tempat. Jari-jari tangannya panjang. Sosok di samping nenek itu menarik perhatianku. Dia sepantaran denganku. Hanya dia cowok. Wajahnya bersih, berambut cepak, dan memakai pakaian pendaki. Cuman kedua matanya kosong, seperti tidak ada nyawanya.

Cengengesan, "mencarimu," ucapku.

Cowok itu berjalan dan menarikku kebalik punggungnya. Dapatku lihat sekujur tubuhnya menegang.

"Ternyata seseorang yang seharusnya berada telah datang. Kita tidak perlu lagi mencari."

"Kau tidak bisa melakukannya. Jangan lupa dengan kesepakatan kita."

"Kesepakatan itu sudah tidak berlaku. Karena manusianya datang dengan sendirinya," ucap nenek tua.

Aku tidak mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Kutarik baju bagian belakang cowok itu.

"Kalian ngomongin apaan sih?" tanyaku dengan suara kecil.

Kesal karena cowok itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya melirik seberntar lalu memfokuskan pandangannya pada nenek tua itu. Kalian ini senang sekali membuatku berada dalam kegelapan.

"Serahkan dia," minta nenek itu.

"Stop!" suaraku mengeras, "Kalian ini membicarakan apa sih. Serahkan dia... Serahkan dia... Yang di maksud nenek itu siapa?" Aku berdiri di samping cowok itu. Namun malah di tarik kembali kebelakang punggungnya.

"Ternyata dia lupa dengan ritual yang pernah kalian lakukan. Tentu saja yang saya maksud adalah kamu, Nayla," terang nenek tua.


---

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Desa PavatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang