Sarapan hari ini benar-benar garing. Eh, sebelum-sebelumnya juga sama, sih. Aku menatap Wonwoo yang makan dengan terburu-buru. Ada kasus penting kah hari ini? Sepertinya dia hanya ingin menghindariku lagi. Bahkan saat meminum tehnya pun, dia meneguk dengan sekali tegukan. Padahal aku yakin sekali kalau teh itu masih rada panas.
"Saya pergi dulu, terima kasih sarapannya." Wonwoo bangkit dari duduknya, ia mengambil jaketnya yang sebelumnya ia sampirkan di kursi makan. Dan dengan langkah cepatnya, ia pergi meninggalkanku seorang diri yang masih mencoba untuk mengunyah rotiku.
"Ponselnya ketinggalan lagi." Aku buru-buru bangkit dan berjalan ke ruang tamu. Kulihat ia baru saja membuka pintu. Untuk itu aku segera menahan lengannya.
"Ponsel kakak ketinggalan." Aku menyerahkan ponselnya yang sedari tadi berbunyi, tanda bahwa ada banyak pesan yang masuk ke ponselnya pagi ini.
"T--terima kasih." Dia mengambilnya dan segera keluar dari apartemen.
"Kamu kenapa gak balas pesanku?!" Baru saja aku akan menutup pintu, kulihat Doyeon datang. Ia sepertinya merajuk pada Wonwoo, pria itu memang paling lambat kalau berurusan membalas pesan.
"Maaf, aku belum buka ponsel dari pagi." Ucap Wonwoo.
"Tidak apa-apa, ayo kita berangkat. Sudah lama aku tidak menemanimu berangkat ke kantor." Kulihat Doyeon menautkan jemarinya pada jemari Wonwoo. Saat itu pula Wonwoo tersenyum lebar.
Aku menghela napasku berat saat melihat pasangan itu tampak serasi, berjalan beriringan dengan saling tertawa bersama. Berbeda jauh saat Wonwoo bersamaku. Ia menjadi lebih pendiam dan cenderung menutup diri.
Bagaimana aku bisa mendapatkan hatinya kalau pembatas itu tidak runtuh?
Tampaknya Wonwoo semakin sulit untuk kugapai.
***
Berdiam diri di rumah adalah hal yang paling tidak bisa kulakukan. Aku adalah orang yang cukup aktif, maka dari itu aku tidak bisa jika hanya rebahan saja.
Aku mencoba untuk sedikit menggerakkan tubuhku. Rasanya lukaku tidak terlalu sakit sekarang. Jadi, ku putuskan untuk masuk bekerja.
Aku segera mengganti bajuku dan menelpon juniorku, Dino. Aku menanyakan dimana posisinya saat ini dan apa saja yang sudah timku lakukan. Setelah mendapat jawabannya, aku segera menuju ke tempat penyelidikan.
Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di tempat itu. Aku tidak terlalu mahir membawa mobil, jadi aku terbiasa mengendarai mobilku dengan kecepatan rendah.
Kulihat sudah banyak sekali polisi yang berjaga disana. Aku juga melihat kedua tim khusus kasus kejahatan berat yang diutus kepolisian, berkumpul disana. Kuputuskan untuk mempercepat langkahku agar aku juga mendapatkan informasi.
"Bu Sejeong. Anda sudah baikan? Lebih baik anda di rumah saja. Ku dengar anda terlibat perkelahian kemarin." Seungkwan, juniorku yang baru saja bergabung dengan timku beberapa hari lalu, bertanya mengenai keadaanku hari ini. Suaranya yang berisik mampu membuat atensi semua orang kini tertuju padaku, tak terkecuali suamiku sendiri.
"Sejeong! Kenapa kamu disini?! Pulang sana! Kamu harus istirahat." Andai saja Seungkwan tidak terlalu berisik, Sakura tidak akan mengomeliku di depan banyak orang, kan!
"A--ah, aku baik-baik saja. Lukanya tidak sesakit kemarin, jadi lebih baik aku bantu kalian disini." Jawabku, tapi lagi-lagi Sakura mencoba menarik tanganku.
"Ayo, biar aku antar kamu pulang." Ucap Sakura. Namun, aku menahan tangannya, mencoba memberi pengertian bahwa aku benar-benar dalam keadaan baik.
"Aku baik-baik saja. Percaya sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Police
Fiksi PenggemarKim Sejeong X Jeon Wonwoo Jadi seorang polisi? Gak gampang, bro! Jadi seorang polisi itu bukan hanya sekedar menangkap penjahat. Tapi, ujiannya jadi seorang polisi itu, orang yang ditangkap apakah benar-benar seorang penjahat? Seorang polisi ditunt...