Halo semuaa! Chapter 6 has been updated! Hopefully ga mengecewakan. Happy reading, lovely readers :)
note : hal-hal yang ada di cerita ini tidak untuk ditiru.
*******
Reina Dawson
"Surat wasiat?"
"Benar itu tulisan tangan milik korban?" Tanya Launa.
"Yap, sudah dicek. Tulisannya sama dengan milik tulisan korban sehari-hari." Jawab Inspektur Arka sambil memberikan surat tersebut padaku.
"Kalau sudah begitu, akan sulit membuktikan kalau ini bukan bunuh diri biasa." Ucap Alicia.
Alicia benar. Dengan adanya surat wasiat ini, sudah cukup untuk menjadikannya sebagai bukti untuk bunuh diri yang dilakukan korban. Aku membaca surat wasiat tersebut dengan seksama. Isinya kurang lebih seperti ini ;
"Selama ini aku sedang dalam masalah. Caraku pergi mungkin akan sangat membebani kalian. Aku minta maaf. Lalu aku minta maaf karena pergi tanpa penjelasan. Lega rasanya bisa pergi dengan tenang. Orang-orang mungkin akan berpikiran yang aneh-aneh, tapi jangan khawatir. Pergi dengan cara seperti ini memang sudah lazim dilakukan, bukan?
Terkait dengan harta, No fight please. Ah, betapa senang rasanya bisa berbagi. Tetapi aku takut informasi-informasi rahasiaku juga akan terkuak. Tak apa, semua demi kalian, kan?
1936, itu kodenya.
Sekali lagi, aku minta maaf."
Benar-benar terlihat seperti catatan bunuh diri. Sepertinya Pak Zidan sudah mempersiapkan 'acara' ini, dilihat dari catatannya yang tergolong rapi dan panjang, seakan sudah tau akan menyampaikan apa saja.
Sekali lagi aku mencocokkan tulisan di surat wasiat itu dengan tulisan sehari-hari korban. Daritadi aku merasa ada yang janggal dengan surat tersebut. Sebut saja sentimen tapi aku tak pernah meragukan apa yang disebut feeling. Tapi apa itu? Apa yang janggal?
Aha. Ketemu.
"Hey, coba bandingin lagi." Pintaku.
"Masih sama kok, Reina? Ini memang tulisan korban." Jawab Inspektur Arka.
"Gue tahu itu sama, tapi coba lihat lagi. Beda" Ucapku sekali lagi meminta mereka memastikan. Bagaimana bisa mereka tidak menyadarinya?
"Mana, Rei? Gue gak lihat." Kata Lexa.
"Nggak, lo lihat. Hanya nggak memerhatikan." Jawabku kesal. Dibalas dengan cibiran pula oleh Lexa.
"Launa, Serena. Coba perhatiin." Pintaku pada 2 anggotaku yang most capable dalam hal seperti ini.
"Ck, nggak ketemu? Perhatikan tulisan di kertas ini dan tulisan di surat wasiat," aku menunjukkan kedua kertas tersebut, "goresan yang ada di surat wasiat ini terasa berbeda. Tulisan tangannya memang dari orang yang sama, tapi dengan tekanan guratan yang terasa berbeda."
"Tekanan?"
"Iya, tekanannya berbeda." Jawabku.
"Jadi?"
Astaga. "Ada 3 kemungkinan. Pertama kaku. Kedua entah tertekan atau takut. Ketiga, keduanya. Dan gue lebih yakin ke opsi ketiga." Jelasku lagi.
"Mungkin karena adrenalin korban yang menciut? Lumrah kan untuk seseorang yang ingin melakukan bunuh diri?" Tanya Alicia.
"Iya. Alice ada benarnya. Tapi itu hanya penjelasan dari kemungkinan kedua. Bagaimana penjelasan untuk kemungkinan pertama?" Tanyaku kembali. Mereka semua terdiam. Akupun begitu. Kami semua terdiam karena pertanyaanku ada benarnya, sekaligus kami tidak bisa menemukan jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arcane||Trouble
AzioneArcane. Sebutkan 1 nama itu, badan intelijen paling rahasiapun akan takluk. Rekor mereka 100%. Totalitas tanpa pernah meninggalkan jejak apapun. Hanya segelintir orang yang mengetahui identitas anggota Arcane yang sebenarnya. "Lo tau kenapa Arcane d...