Perhatian

550 26 1
                                    

"Maaf, Dok, saya lihat hasilnya nanti aja, ya. Saya kebelet, udah gak tahan." Dia bergegas keluar.

Bang Hatta mengerti kekhawatiranku, sehingga membuat alasan konyol di depan Dokter Siska. Dokter menggeleng sembari tersenyum dengan sikapnya. Aku merasa lega sekarang.

Dokter memeriksa kandunganku dengan alat USG. Kulihat beberapa kali dahinya mengernyit dan terkadang menggeleng. Beberapa menit setelahnya, pemeriksaan selesai.

Aku duduk di tempat semula setelah selesai USG. Perasaan cemas muncul kembali. Tak lama Bang Hatta masuk dan mengambil tempat di sisiku.

"Bagaimana keadaan kandungan Maira, Dok?" tanya Bang Hatta serius.

Kulihat mimik muka Dokter siska tampak serius. Aku mulai merasa gelisah. Bang Hatta menoleh dan menggenggam tanganku untuk menguatkanku.

"Apa emosi Ibu Maira cenderung meningkat saat kehamilan?" tanya Dokter Siska dengan serius.

"Iya, Dok. Saya mempunyai sedikit masalah yang membuat saya stres," jawabku cepat.

"Saat stres atau sedang marah, tubuh ibu hamil akan memproduksi hormon stres yang bernama kortisol. Ketika jumlah hormon stres tersebut meningkat, pembuluh darah di dalam tubuh akan menyempit. Hal ini membuat aliran darah dan pasokan oksigen ke janin menjadi berkurang dan membuat tumbuh kembangnya terganggu. Ibu Maira harus menghindari segala hal yang membuat emosi meningkat. Ada beberapa cara untuk menghindarinya. Curhat dengan pasangan, teman, keluarga, atau psikolog untuk mengutarakan hal atau beban pikiran yang membuat emosi, menulis buku harian sebagai media untuk mengeluarkan keluh kesah luapkan emosi melalui aktivitas fisik yang menyehatkan atau olah raga, seperti jalan kaki disekitar rumah, yoga atau senam ibu hamil, perbanyak waktu istirahat dengan tidur setidaknya 8 jam setiap malam. Lakukan hal-hal yang disenangi, misalnya menonton film, membaca buku, atau mendengarkan musik favorit."

Aku mengangguk tanda mengerti. Isengku searching di internet, ternyata apa yang diterangkan Dokter Siska benar adanya. Bagaimana cara menghindri stres? Saat ini masalahku memicu diri untuk bertindak dengan rasa emosi?

"Untuk Bapak, saya berharap selalu menemani Ibu Maira di masa kehamilan ini," tambah Dokter Siska.

"Iya, Dok. Mulai saat ini saya akan memprioritaskan istri saya." Bang Hatta menggenggam tanganku.

"Bagus itu, Pak. Ini resep untuk kandungan Bu Maira. Silakan ditebus di apotek." Dokter Siska menyerahkan secarik kertas kepada Bang Hatta.

"Makasih, Dok," ujarku dan Bang Hatta serempak.

Aku dan Bang Hatta berjalan menuju apotek yang ada di rumah sakit. Menebus resep yang diberikan dokter untuk kandungan ini. Kekaguman akan dirinya semakin bertambah dengan sikap yang amat perhatian.

"Bang, Maira capek, Maira tidur, ya?" pintaku kepada Bang Hatta setelah menjatuhkan tubuh pelan di kursi mobil.

"Iya, Adek tidur aja. Nanti Abang bangunin." Bang Hatta tersenyum.

Senyumnya membuatku semakin nyaman. Dia membantu memasang seat belt. Aroma maskulin tercium di hidungku. Mata terpejam dan menghirup wanginya. Sungguh terasa menyegarkan seperti aroma terapi. Setelah puas, perlahan aku membuka mata.

Mataku membulat seraya menggigit bibir bawah. Pandangannya
begitu lain kurasakan. Dada ini terasa sesak dan asupan udara mulai berkurang. Jantung berdegup kencang. Sejak kapan Bang Hatta menatapku?

"Dek, Abang ...."

Bang Hatta menyentuh lembut pipiku dan mengusap dengan jari-jemarinya. Dia mendekat, memangkas jarak di antara kami. Hingga kurasakan napasnya menyapu lembut di wajah ini.

"Maira," lirihnya.

Bang Hatta memanggil namaku. Apa ia saat ini telah memandangku sebagai seorang wanita? Embusan napasnya terasa menghangatkan wajah.

Tatapannya meresahkan diri. Belum pernah aku merasakan hal ini sebelumnya. Ada sesuatu lbergejolak di relung hati. Apakah yang telah berlaku kepadaku saat ini?

"Maira," desisnya.

Bang Hatta mendekat, aku hanya terpaku menanti apa yang akan terjadi. Dia tersenyum manis sekali. Napas Bang Hatta terdengar memburu.

Deringan ponsel menyadarkan dua insan dalam kekaguman. Bang Hatta kembali duduk di belakang kemudi. Terlihat pipinya memerah saat ini. Aku pun merasakan hal yang sama. Andai papa tak menelepon, entah apa selanjutnya akan terjadi.

Aku mengambil ponsel dari dalam tas. Mataku terpaku menatap nama yang muncul di layar.

"Siapa, Dek?" tanya Bang Hatta seraya menghidupkan mesin mobil.

Bang Hatta kembali memanggilku seperti biasa. Mungkin kami hanya terbawa suasana. Semoga ini tak akan terjadi lagi.

"Bang, dari Papa." Aku memperlihatkan nama yang tertera di layar ponsel pada Bang Hatta.

"Angkat aja, Dek!"

"Kalau Papa nanyain tentang Mas Wira, gimana?" Rasa cemas mulai merundungku.

"Sini ponselnya, biar Abang yang angkat." Bang Hatta mengulurkan tangan sementara dia masih fokus menatap jalan di depan.

"Maira takut, Bang," ujarku gelisah.

"Jangan takut, Dek. Abang di sini." Dia melirikku.

Bang Hatta memutar kemudi ke pinggir jalan lalu mematikan kontak mesin. Dia mengambil ponsel di tanganku dan menggeser tombol hijau serta menekan loudspeaker.

"Assalammualaikum, Pa," jawab Bang Hatta di telepon.

"Waalaikumussalam. Hatta, Adekmu mana? Kok, kamu yang ngangkat telepon Maira?" tanya Papa memberondong.

Suara Papa terdengar sedikit keras. Mungkin Beliau marah karena Bang Hatta mengangkat panggilannya. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua? Seperti merahasiakan sesuatu.

"Adek lagi tidur, Pa," balas Bang Hatta.

Tentu saja Bang Hatta berbohong kepada Papa. Mungkin takut bila beliau memarahiku. Bisa jadi tentang aku yang meninggalkan Mas Wira.

"Kalian di mana?"

"Kami dari dokter kandungan, Pa," ungkap Bang Hatta datar.

"Hatta, keterlaluan kamu! Maira punya suami. Kenapa kamu yang nganterin ke dokter kandungan?"

"Pa, gak leluasa ngomong di telepon. Nanti aku akan ke rumah."

"Hatta, Papa gak ingin kamu ngelakuin kesalahan."

"Pa, bukan aku yang ngelakuin kesalahan, tapi Papa yang telah ngelakuinnya. Aku udah gak tahan lagi, Pa."

Suara Bang Hatta terdengar agak keras. Ia menyipitkan mata dan mengatupkan geraham. Baru kali ini aku melihatnya marah dengan Papa. Sampai saat ini pertanyaan serupa masih dalan benak. Apa yang terjadi antara Papa dan Bang Hatta? Kenapa aku tak mengetahuinya?

"Hatta, kamu harus sopan sama Papa! Jangan kamu hancurin kepercayaan Papa sama kamu."

"Pa, udah aku bilang, nanti aku akan ke rumah bicara soal ini. Maaf, Pa. Assalamualaikum," pungkas Bang Hatta.

Bang Hatta mengakhiri telepon tanpa mendengar jawaban salam Papa. Dia memejamkan mata. Apa mungkin merasa tertekan saat ini? Sejenak aku memandang wajahnya yang handsome.

"Bang ...."

"Ya, Dek." Dia membuang napas berat dan membuka mata seraya memberikan ponselku.

Aku menerima ponsel dan memasukkan kembali ke dalam tas yang kupegang. "Abang ada masalah apa sama Papa? Apa ada yang Abang sembunyiin selama ini dari Maira?"

"Mmm. Nanti kita bicara di tempat Papa, Dek," jawabnya cepat.

Bang Hatta menghidupkan mesin. Mobil pun melaju menyusuri jalan raya. Mungkin dia tak ingin membicarakannya saat ini. Aku menurunkan sandaran kursi seraya merebahkan tubuh. Kupejamkan mata agar semua lelah terasa akan hilang setelah bangun nanti.

Setelah Setahun PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang