12

533 118 20
                                    

Semoga suka.

***

Barang-barang ini di antar ke Yaya Florist, ya? Nanti ada karyawan di sana yang akan menerimanya.

Dua hari sebelum kecelakaan di lokasi proyek Hatim kala itu, sebenarnya Haura telah menyiapkan  diri. Sedikit demi sedikit pakaian dan beberapa barang pentingnya dikirim ke Yaya Florist tanpa sepengetahuan Hatim.

Haura terpaksa harus memilih jalan yang cukup berat, meninggalkan suami dan juga Yaya secara diam-diam.

Ibu yakin mau pergi dengan cara seperti ini?” tanya Dina kala itu.

Desah napas berat terembus dari bibir Haura. “Saya nggak akan memilih jalan ini jika suami saya bisa menerima bayi ini atau membuat saya pergi secara suka rela. Mas Hatim akan terus menahan saya untuk melihat saya menderita. Kebenciannya nggak akan pernah luntur. Saya harus menyelamatkan darah daging saya karena hanya dia yang saya miliki saat ini.

Ketakutan Haura selama ini akhirnya terjadi. Tanpa perasaan, Hatim memintanya menggugurkan kandungannya yang telah berjalan tiga bulan. Parahnya, usai meminta Haura melakukan perbuatan laknat tersebut, Hatim pergi seolah membunuh janinnya adalah perbuatan yang mudah.

Haura ber-istighfar dalam hati. Air matanya luruh. Perutnya terus dipeluk, memantapkan diri untuk memperjuangkan nyawa bayinya dan membesarkannya nanti, meski harus berlari.

“Mama kapan kelual dali sini? Yaya ingin kita pulang ke lumah. Jangan ke lumah Oma, ya, Ma? Yaya ndak mau ke sana.”

Lamunan Haura terpecah ketika Yaya yang sejak satu jam lalu datang mengunjunginya bersama sang kakek itu kembali berceloteh. Anak itu tiba tak lama setelah Hatim meninggalkannya tanpa perasaan.

Rambut Yaya dibelai lembut saat anak itu berbaring nyaman dalam dekapan Haura. Ada dilema yang mengganggu pikiran Haura untuk pergi. Ia memikirkan Yaya yang mungkin akan menjadi seperti dirinya karena hidup tanpa kasih sayang keluarganya sendiri.

“Mama belum bisa pulang, Sayang. Mama masih sakit. Nggak apa, ya, kalau Yaya harus menunggu Mama di rumah Oma dulu?” jawab Haura.

Mendengar jawaban Haura, kepala Yaya mendongak, bibirnya mengerucut panjang. “Yaya sama Mama aja di sini kalau gitu. Ndak apa tidul di sini, yang penting Yaya sama Mama.”

Haura menghela napas pelan. “Kenapa Yaya nggak mau tinggal sama Oma? Oma, kan baik. Selalu membelikan Yaya mainan.”

“Iya. Tapi, Oma suka pusing kalau ada Yaya, tuh. Oma dan Opa jadi pusing, lalu malah-malah. Oma dan Opa jadi belantem. Yaya takut, Maa. Udah itu, Oma selalu paksa Yaya makan sayul banyak-banyak,” cerita gadis kecil itu.

“Oma menyuruh makan sayur, karena Oma sayang sama Yaya. Oma nggak mau Yaya sakit dan berubah gendut kalau makan ayam goreng terus.”

“Tapi, Oma gendut. Kenapa?”

“Eh? Itu ….” Haura memutar otak untuk mencari kalimat baik yang harus ia jelaskan pada Yaya. “Oma bukan gendut, tapi terlalu sehat, Ya,” jawabnya tak masuk akal.

Beruntung setelah itu Yaya hanya manggut-manggut, tanpa bertanya lebih jauh.

“Jadi ….” Haura kembali membujuk Yaya, “Yaya tinggal sama Oma dan Opa, ya? Saat Mama udah sehat nanti, Mama akan jemput Yaya. Atau Yaya mau tinggal sama Papa aja berdua di rumah?”

No!” jawaban itu diberikan Yaya dengan cepat. Bahkan tanpa berpikir dua kali, ia menolak mentah-mentah saran Haura yang kedua tersebut. “Hummh. Yaya ndak mau tinggal sama siapa-siapa selain sama Mama. Kalau ada Mama, Yaya mau tinggal sama siapa aja. Tapi, kalau Yaya sendili aja sama meleka, Yaya ndak mauu.”

Gloomy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang