8

476 119 26
                                    

Happy reading.

***

"Bu Haura hentikan mengonsumsi obat-obatan selain dari yang saya sarankan, ya?"

Sejak semalam, Haura dibuat cemas setengah mati karena rasa sakit pada perutnya. Ia tak bisa tidur nyenyak. Sepanjang malam ia meringkuk kesakitan hingga peluhnya bercucuran. Susah payah ia menahan desis kesakitannya agar tak terdengar oleh Hatim yang tengah nyenyak dibuai mimpi.

Hingga bulan ke tiga kehamilannya pun, Hatim masih tak menyadari kehamilan wanita itu. Mati-matian Haura menyembunyikannya demi keselamatan janinnya sendiri.

"Bu Haura sering mengonsumsi obat depresi, ya?" tebak sang dokter.

Haura menyadari kesalahannya lantas mengangguk. "Iya, Dok."

"Dalam obat depresi terdapat kandungan obat kimia yang nggak baik bagi Ibu hamil, Bu Haura. Sebaiknya, kurangi mengonsumsi obat-obat tersebut demi kesehatan janin Ibu sendiri," terang dokter kandungan tersebut. "Apalagi dengan usia kehamilan Bu Haura yang baru menginjak usia 13 minggu ini, sangat rentan terhadap apa pun."

"Iya, Dok," sahut Haura lemah.
Mengonsumsi obat depresi seolah menjadi ketergantungan bagi Haura.
Tanpa obat tersebut, ia terus dihantui kejadian mengerikan di masa lalu yang membawa nasibnya pada penderitaan sekarang ini.

Dokter tersebut tersenyum hangat, "Jika ada masalah yang mengganggu Bu Haura, jangan biasakan menggantungkannya pada obat-obatan walau reaksinya cukup ampuh membuat kita tenang. Akan tetapi, berupaya mengabaikan masalah itu sejenak dengan melakukan aktivitas lebih sehat, sebenarnya jauh lebih ampuh dan aman bagi kesehatan diri kita sendiri, Bu."

Haura hanya mengangguk dengan pikiran berkecamuk. Takut, gusar, dan cemas menjadi satu. Sedari tadi perutnya terus disentuh. Setelah lima tahun pernikahannya, anak dalam perutnya saat ini merupakan pemberian Tuhan paling indah yang harus ia jaga sebaik mungkin. Ia tak pernah merasakan kebahagiaan selama lima tahun terakhir hingga akhirnya nyawa kecil hadir di rahimnya.

Ia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu terhadap janinnya.

"Apa ... bayi saya baik-baik aja, Dok?" Haura memberanikan diri menatap langsung kedua mata dokter wanita tersebut. Jawaban terbaik sangat ingin ia dengar dari beliau.

Tersenyum, dokter memberikan jawaban yang cukup melegakan. "Syukur, dia kuat, Bu Haura."

Mendengar kabar baik itu, senyum Haura akhirnya merekah kembali. Ia mengucap syukur berulang kali di dalam hati atas kebaikan Tuhan menjaga janin kecilnya.

"Tapi, Bu Haura harus mendengarkan saran saya tadi, ya, Bu. Jangan stres, jangan lelah, istirahat harus cukup, dan jangan mengonsumsi obat yang tidak saya sarankan," lanjut dokter.

"Iya, Dok. Saya akan melakukan saran yang Dokter berikan."

"Kalau begitu, ini resep vitamin yang harus Bu Haura tebus. Jangan lupa selalu periksa kehamilan Bu Haura sesuai jadwal, ya?"

Haura mengangguk. Selesai memeriksakan kandungannya, Haura keluar. Namun, ia cukup terkejut hingga punggungnya membentur pintu ruang dokter kandungan yang baru saja ia tutup, ketika Darwin tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Darwin? Kamu ngapain di sini?"

"Aku?" Darwin menunjuk dirinya sendiri. "Oh, aku mau menjenguk temanku di rumah sakit ini. Kamu sendiri?"

Haura gusar.

Sebelah alis Darwin terangkat, menatap ruang dokter kandungan dan perut Haura bergantian. "Kamu hamil?"

"Hah?" Haura kelabakan. Ia menelan ludah kasar ketika pertanyaan itu diajukan Darwin tanpa basa-basi. "I-itu ...."

"Berapa bulan?" timpal Darwin.

Gloomy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang