13

1.6K 125 35
                                    

"Kami tidak bisa memindahkan pasien rumah sakit ini secara tiba-tiba, Bu. Walaupun keluarga pasien ingin memindahkan pasien ke rumah sakit lain, kami harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit."

Terjadi perdebatan yang tak bisa dikatakan cukup kecil di meja resepsionis. Bu Winda ngotot ingin memindahkan Atika ke rumah sakit lain saat itu juga secara tiba-tiba. Tentu permintaan beliau tak bisa langsung dilakukan oleh pihak rumah sakit.

Usai mengetahui bahwa Hatim dan keluarganya wara-wiri di rumah sakit yang sama dengan Atika dirawat selama ini, Bu Winda tak bisa duduk tenang dan bersembunyi di dalam ruangan Atika sepanjang waktu.

Maka, memindahkan Atika ke rumah sakit lain adalah solusi darurat yang bisa dilakukan. Sayangnya, beberapa kali ia ngotot hingga urat lehernya muncul, pihak rumah sakit tetap tak bisa mengabulkannya saat itu juga.

"Setidaknya Ibu harus menunggu dua atau tiga hari lagi baru pasien bisa dipindahkan," sambung petugas resepsionis rumah sakit tersebut.

"Kami nggak bisa menunggu selama itu, Sus! Anak saya harus pindah sekarang juga. Ini keadaan darurat. Paham nggak, sih?" marah Bu Winda dengan mata melotot.

"Maka, setidaknya dokter kami memeriksanya terlebih dahulu jika benar pasien dalam keadaan darurat, Bu. Sebentar, saya menghubungi dokter." Petugas itu mengambil telepon, bersiap menghubungi dokter, tetapi Bu Winda melarangnya.

"Nggak perlu! Anak saya baik-baik aja, dia hanya perlu dipindahkan Suster."

"Maka, Ibu harus sabar dulu."

Perdebatan yang terjadi sedari satu jam lalu itu tentu menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung rumah sakit. Mereka seperti menyaksikan tontonan gratis yang sayang jika dilewatkan.

Hal itu juga tak luput dari perhatian orang-orang yang sebenarnya ingin Bu Winda hindari.

Masalah perginya Haura dari rumah sakit tanpa sepengetahuan pihak keluarga, masih menjadi fokus Hatim. Dirinya dan sang mertua belum beranjak dari sana hingga keduanya tak sengaja melihat keributan yang terjadi di meja resepsionis.

Bu Winda terlalu gegabah dan berpikir pendek dengan membuat keributan di meja resepsionis, yang mana semua pengunjung tentu bisa saja menyadari keberadaannya termasuk Hatim dan Bu Tati.

Awalnya, Hatim tak terlalu peduli, demikian juga dengan Bu Tati, Namun, ketika wajah itu tampak tak asing di penglihatan keduanya, Hatim dan Bu Tati membulatkan mata.

"Ibu Winda?" gumam Hatim setengah tak percaya.

Langkahnya diatur cepat mendekati meja resepsionis, lantas menyentuh pundak Bu Winda pelan. "Ibu Winda ..."

Mendengar suara itu, Bu Winda mematung bahkan lupa untuk bernapas selama beberapa saat. Tubuh beliau menegang, terlalu cemas untuk berbalik dan berhadapan langsung dengan orang-orang yang hendak ia hindari selama lima tahun ini.

"Apa yang ... Ibu lakukan di sini?"

Tentu Bu Winda tidak akan membiarkan Hatim menyadarinya begitu saja. Bu Winda pura-pura menatapnya, lantas mengerutkan dahi. "Siapa, ya?"

"Bu Winda?" Bu Tati yang sedari tadi diam menyimak, ikut mendekat dan memanggil beliau setengah tak percaya.

Kepalang ketahuan, Bu Winda mendengkus. "Apa yang kalian lakukan di sini, ha?" ketusnya.

"Apa Ibu sakit? Ibu ke mana aja selama ini?" Hatim bertanya. Tampak jelas gurat kerinduan terpatri di wajahnya.

"Saya sakit atau enggak, saya ke mana aja selama ini bukan urusanmu. Minggir sana!" Bu Winda menepis Hatim yang sempat menyentuh lengan beliau. "Urusan kita sudah berakhir, Hatim. Anggap aja kita nggak pernah saling kenal."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gloomy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang