3

502 108 29
                                    

Happy reading.

*** 

"Mama nggak tau apa pun soal hubungan kita. Kenapa Kak Hatim ngomong seperti itu sama Mama?"

Usai membereskan dapur bekas makan siang, Haura memberanikan diri bicara dengan Hatim. Perilaku pria itu terhadap ibunya sendiri sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang anak. Apalagi ketika itu ada Yaya di sana. Meski Yaya tampak tidak peduli, tetapi Haura tahu jika Yaya menyerap semua yang didengar dan dilihatnya. Termasuk tentang Atika yang tidak pernah Haura dan Hatim kenang di hadapan gadis kecil itu, dan tanpa diduga Yaya menanyakan tentang Atika pada Haura beberapa waktu lalu.

"Atika itu teman Mama, Sayang. Kenapa?" jawab Haura atas pertanyaan Yaya sebelumnya.

"Kenapa Oma sebut-sebut nama temen Mama itu?" tanya gadis kecil itu lagi.

"Emang apa yang Yaya dengar tadi dari Oma tentang temen Mama itu?" Haura mencoba menguji Yaya sebelum ia memutuskan harus menjawab pertanyaan anak itu.

"Entah," jawab Yaya, lalu menyengir. "Yaya ndak tau Oma bilang apa tadi."

Haura mengucap syukur di dalam hati. Setidaknya Yaya masih tidak menangkap dengan jelas tentang Atika di meja makan tadi. Bukan berarti Haura ingin menyembunyikan tentang siapa Atika bagi Yaya, hanya saja Haura belum siap, dan Hatim sama sekali tidak peduli tentang itu.

"Siapa yang ngantar Mama pulang?" Tanpa mengalihkan fokusnya dari laptop, Hatim mengajukan pertanyaan lain tanpa susah payah menanggapi pertanyaan Haura sebelumnya.

Haura mendesah pelan. Hatim kembali mengabaikan perkataannya. "Mama dijemput sopir," jawab Haura lesu.

"Kak, Kakak bisa dengerin permintaanku sekali ini aja, nggak? Aku nggak pernah meminta apa pun sama Kak Hatim selama ini, jadi untuk pertama kali aku mengajukan permintaan sama Kakak."

Melepas kacamatanya, Hatim menatap Haura intens. Ia siap mendengar permintaan wanita itu. Tangannya bersedekap di dada dengan angkuhnya, "Apa?"

"Jangan seperti ini lagi sama Mama. Melihat Mama pulang saat sebelumnya Kakak bertingkah kurang sopan, aku nggak enak, Kak."

Sebelah sudut bibir Hatim tersungging. Menertawakan permintaan wanita itu yang menurutnya tidak sesuai dengan diri wanita itu sendiri. "Kamu pikir, kamu itu paling baik, gitu?"

Sangat jelas Haura rasakan darahnya menghangat dan terasa mengalir pesat ke kepalanya. Bulu kuduknya meremang. Hatim mulai mengungkit masa lalu itu.

Hatim berdiri, menatap lekat ke kedua manik mata Haura dengan dingin. "Kamu itu jauh lebih buruk dari siapa pun di sini. Jangan bersikap seolah kamu adalah menantu dan ibu terbaik, jika pada kenyataannya kamu itu penyebab segala kekacauan ini."

Tangan Haura gemetar, ia menunduk, tak berani membalas tatapan dingin pria itu lebih lama.

"Bagaimana cara aku memperlakukan orang tuaku, itu bukan menjadi urusanmu. Urusi saja apa yang seharusnya kamu urus. Dan apa katanya tadi? Hamil?" Hatim terbahak untuk hal yang sama sekali tak lucu menurut Haura. "Bahkan jika hal itu sempat terjadi, aku nggak akan segan-segan memaksa kamu menggugurkannya."

"K-kak ...."

Hatim mendengkus, "Keluar. Aku mau melanjutkan pekerjaanku," lalu kembali duduk dan fokus pada laptopnya.

***

"Haura! Jangaaan!"

Haura terlonjak dari tidur siang singkatnya. Matanya membelalak dan keringat bermunculan di wajahnya. Napasnya memburu dan kepalanya pusing bukan main.

Gloomy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang