9

589 111 20
                                    

Happy Reading.

*** 

Suara berisik dari luar kamar mengganggu nyenyak tidur Hatim. Pria itu terbangun, lantas melirik ke sisi kanannya dan tak mendapati Haura di sana. Matanya memicing menatap jam di nakas yang menunjukkan pukul satu dini hari. "Apa yang dia lakukan jam segini?" decaknya.

Tenggorokannya terasa kering, Hatim memutuskan bangkit untuk minum. Namun, di ambang pintu kamar ia terdiam. Wanita yang ia nikahi karena terpaksa itu tengah duduk di sofa membelakangi pintu kamar mereka.

Hal yang membuat Hatim sempat terdiam adalah saat menyadari punggung Haura bergetar. Awalnya Hatim berpikir Haura tengah menertawakan acara komedi yang tengah ditontonnya tersebut, namun ketika samar-samar suara isakannya terdengar, Hatim baru sadar wanita itu tengah menangis.

Tangan Hatim meremas erat knop pintu. Langkahnya ragu menuju dapur dan membiarkan tenggorokannya kering kehausan. Ia memutuskan kembali ke kamar, menutup pintunya pelan. Di balik pintu, Hatim tersandar. Napasnya dihela pelan ketika terlintas perasaan bersalah itu muncul terhadap Haura.

Hatim sadar, bahwa ia telah keterlaluan memperlakukan Haura selama ini. Bagi Hatim, sulit melupakan kejadian lima tahun lalu dengan hilangnya nyawa sang istri akibat perbuatan wanita itu. Bahkan, untuk mengucapkan selamat tinggal pada sang istri untuk terakhir kalinya saja Hatim tak mendapat kesempatan.

"Atika sudah meninggal." Lima hari usai pernikahannya dengan Haura di rumah sakit, Bu Winda datang menemui Hatim dan mengabarkan berita duka tersebut tanpa basa-basi.

Tentu saja kabar mengejutkan itu membuat Hatim tak percaya. Setelah empat hari mencari keberadaan Atika usai dipindahkan ke rumah sakit lain oleh orang tuanya, kini pada hari ke lima ia justru menerima kabar menyesakkan tersebut.

"Bu, ini bukan saatnya untuk bercanda, Bu," ucap Hatim dengan air mata yang mulai bertumpuk.

"Apa kematian anak sendiri itu patut dijadikan candaan?" marah Bu Winda. "Lagipula, saya datang memberikan kabar ini agar kamu bisa lebih tenang memadu cinta dengan istri barumu itu. Kamu nggak punya beban lagi mengurusi istri yang skarat, karena sekarang dia udah meninggal."

Air mata yang sejak tadi berusaha Hatim tahan akhirnya jatuh juga. Hatim menjadi sosok pria lemah jika berhubungan dengan orang yang dicintainya. Kakinya mendadak lemas. Ia terduduk di kursi tunggu rumah sakit tempat Haura dirawat, meratapi kepergian Atika tanpa dampingannya.

"Di mana makam Atika, Bu?Sa-saya ingin menemui dia walau sudah terlambat," tanya Hatim dengan suara parau, matanya mulai bengkak karena air matanya terus beruraian.

Berdiri dari kursi tunggu, Bu Winda berkata dingin pada Hatim, "Saya ke sini hanya untuk menyampaikan berita meninggalnya Atika, di mana dia dimakamkan sepertinya kamu nggak perlu tau. Toh, buat apa? Kamu sekarang sudah punya pengganti Atika." Kemudian melenggang santai meninggalkan Hatim yang masih meratap.

Kabar meninggalnya Atika dengan cepat menyebar di grup reunian SMA tempat Atika menimba ilmu. Rekan-rekannya mengucapkan bela sungkawa secara online karena mereka tak berkesempatan untuk melayat.

Tentu saja kabar meninggalnya Atika sempat membuat Hatim frustrasi berat. Semua pekerjaannya terbengkalai dan hampir dipecat dari perusahaannya. Yaya terabaikan, bahkan untuk sekadar melihat bayi kecil tak berdosa itu Hatim tak sanggup. Haura yang tengah dalam masa pemulihan usai terbangun dari koma, berusaha keras menjaga Yaya tanpa bantuan siapa pun.

Berbulan-bulan Hatim berusaha mencari keberadaan mertuanya, hanya untuk meminta kepastian di mana istrinya tersebut di makamkan. Namun sayang, mertuanya pindah semenjak Atika meninggal dan ia kehilangan kontak semua keluarga istrinya tersebut seolah mereka telah lenyap ditelan bumi.

Gloomy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang