10. Tien

4.6K 409 14
                                    

Pagi ini Alen sudah rapi mengenakan seragam lengkap, siap berangkat kesekolahnya.

Seperti biasa pagi disambut oleh mentari yang bersinar dengan cerahnya, terlihat beberapa burung yang berlalu lalang diangkasa yang berwarna biru cerah tanpa sedukitpun awan mendung seperti biasanya dipuncak musim hujan seperti sekarang.

Namun kepergian Alen segera dicegat oleh Rani. Wanita paruh baya itu menyuruhnya untuk mencuci piring bekas sarapannya dan beberapa peralatan kotor yang tertinggal sehabis acaranya kemarin.

Alen hanya menurut, remaja itu lagi lagi hanya mengiyakan, toh katanya kehadirannya disini hanya sebatas anak pembantu.

Tanpa Alen sadari jika sedari tadi Abi yang sibuk berkutat dengan laptopnya beberapa kali curi-curi pandangan kearahnya, melihat anak itu yang hanya menurut saja dengan semua perintah ibunya.

Padahal rumah mewah ini sama sekali tak kekurangan asisten yang dipastikan akan membereskan semuanya, tanpa harus ada campur tangan seorang Alen.

Bel pelajaran sekolah telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, Alen yang baru saja turun dari bus seperti biasa kini disambut dengan pintu gerbang yang sudah ditutup rapat.

Seperti dugaannya dari awal jika ia akan telat, penjaga sekolah yang tadi santai minum kopi di pos jaga menghampiri Alen yang berdiri didepan pagar yang sudah ia kunci.

"Pak ... buka dong, Pak." Pinta Alen.

Penjaga sekolah dengan baju khas seorang satpam dengan name tag DAMAR, berkumis tebal, dan tinggi badan rata rata ini menghela nafas melihat Alen yang memelas.

"Aduh den, kenapa bisa sampai telat? Sudah lebih dari lima belas menit lagi," balasnya dengan logat khas Sunda. Lalu melihat kesekeliling sekilas, sebelum tanpa pikir panjang membukakan pagarnya.

Siapa yang tak kenal Alen? Si murid teladan, dengan prestasi yang bisa dikatakan hampir mulus disekolah ini.

"Biasa, nunggu bus lama, Pak," ucap Alen menyengir, membuat sang penjaga berohria sejenak. "Makasih ya, Pak." Sambung Alen tersenyum simpul

"Sok atuh masuk, mumpung belum ada yang lihat. Ini tiket spesial buat, den Alen."

Alen nyengir, "Bisa aja, Pak."

Untung saja pelajaran pertama hari ini adalah jam olahraga. Alen masuk kedalam kelas yang semua siswanya hobi ribut dan ricuh seperti biasanya. Ia menaruh tas keatas meja. Kursi disampingnya kosong tanpa pemilik. Ikbal memang langgannanya keluyuran tak bisa sedikitpun diam dikelas jika ada jam pelajarah senggang.

Kalau bukan main bola di lapangan, ya godain adik kelas buat dijadikan korban dari jiwa fakboy kelas kakapnya, hingga berakhir dengan drama buat nangis anak gadis orang.

Atau tidak ia mungkin menggoda salah satu penjual dikantin yang katanya masih perawan. Beberapa kali Alen sudah mengingatkan, tapi jiwa setan yang mendarah daging didalam tubuh Ikbal mungkin memang sangat sulit untuk dilepaskan.

Semua siswa berbaris kelapangan setelah usai berganti pakaian. Hari ini kebetulan materinya adalah sepak bola, setelah usai melakukan gerakan pemanasan dan diberi materi secara singkat para siswa dibagi beberapa regu untuk bermain. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, matahari muali meninggi.

Ikbal melirik sekilas kearah wajah pucat milik Alen ketika tak sengaja melihatnya, sebelum berujar. "Dari pada belum, lebih baik bilang sama Pak Yono kalau lo sakit, Al." Saran Ikbal, namun dibalas dengan Alen yang menggeleng.

Ikbal takut jika tiba-tiba remaja itu kembali tumbang.

"Kuat gue," balas Alen.

Ikbal bahkan sempat merasakan perubahan secara langsung dari dalam diri tubuh temannya akhir akhir ini, namun jika ditanya tentang penyakitnya Alen hanya menjawab dengan 'kacepan' itu saja terus. Atau tidak langsung mengalihkan topik pembicaraan.

Alleen ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang