15. Vijftien

5K 405 25
                                    

"Pelan pelan aja, gue gak tega lihat lo kayak gitu." Ikbal berucap dengan memijit pelan tekuk Alen.

"S-sakit..." Lirih remaja itu, merasa habis tenaga dan terduduk dilantai kamar mandi seraya memegangi perut, setelah memuntahkan hampir semua isinya.

"Ganti baju dulu." Hanif membawa selemebar baju yang ia sodorkan kearah Ikbal, melihat baju Alen yang habis basah karena dimandikan keringat.

Chef yang Ikbal maksud tadi adalah Hanif, yang memang jagonya dalam hal memasak.

Ikbal membantu Alen menggannti bajunya, anak ini sekarang merasakan jika tubuhnya sangat lemas. "Kuat lo, Al? Kita balik ke rumah sakit aja ya." Tawar Ikbal namun dibalas gelengan lemah

Alen, remaja itu memang sangat keras kepala.

"Terus lo maunya apa?!" Ikbal akhirnya menyentak kesal, membuat wajah pucat Alen menatapnya.

"Gua mau mati." Celetuk Alen, terkekeh pelan kemudian bangkit menggunakan wastafel untuk mencuci tangan dan wajahnya.

Ikbal mengertakkan rahang, ia benci saat Alen berkata ingin mati, seakan itu menunjukkan kalau ia sudah sangat putus asa. "Lo pasti bentar lagi mau melaporkan hal ini sama Papa kan?" Untuk kedua kalinya Alen seolah dapat menebak isi kepala Ikbal.

"Karena Om Abi orang pertama yang seharusnya tahu! Sampai kapan lo menyembunyikan ini?" tanya Ikbal diakhir kata, menatap nyalang Alen yang melangkah menjauh, ia sudah tak tahan lagi melihat Alen yang selalu ingin menyimpan semuanya sendiri.

"Sampai Papa sadar sendiri," jawab Alen.

"Kapan?"

"Gue juga ga tahu."

"Terus mau sampai kapan, Al?!"

"Setidaknya sebelum gue mati, puas!!" ucap Alen tak kalah membentak membuat Ikbal seketika bungkam.

Alen tersenyum kecut sebelum kembali berujar. "Lo mau melaporkan gue ke Papa kan? Laporkan saja, kalau lo mau banget lihat gue diseret pulang kayak binatang dari sini sampai kerumah, ayo!" Desak Alen, Ikbal masih terdiam.

"SUDAH CUKUP!" Hanif mencoba menengahi mereka, setelah sejak tadi ia hanya memilih diam.

Jujur Hanif juga tak kuat menatap wajah pucat milik Alen karena selalu mengingatkannya pada sang adik yang kini sudah berpulang, setelah juga sudah cukup lama berjuang dan menderita, karena sakit yang sama.

Alen kini menurunkan sedikit volume suaranya saat kembali berucap, "Gue juga tahu, Bal, jika kemungkinan besar Papa ga akan pernah berubah, dimata Papah gue bahkan gak lebih dari sebatas sampah yang menjijikan untuk dia tatap.
Tapi bodohnya dia yang masih menjadi alasan terbesar gue bertahan sampai sekarang, gue masih berharap walau didetik terakhir hidup gue, Papa bisa meluk gue sambil berucap satu kata aja yang ga menyakitkan buat gue dengar."

Ikbal kembali bungkam.

Sama halnya dengan Hanif.

"Karena sekarang yang gue rasakan udah terlampu lelah. Gue pengen banget menyerah, rasa hidup yang selama ini gue cicip gak pernah berubah." Pungkas Alen, menjadi orang yang mengakhiri topik pembicaraan, dan berjalan menjauhi mereka.

Tiga langkah.

Bruk!

Tubuh Alen ambruk di sana.

*************

"Gimana Om?"

Pintu ruang rawat yang sedari tadi Ikbal nantikan kini terbuka, menampakkan Gala yang kini keluar ruangan diiringi dengan hembusan nafas gusar yang begitu terdengar.

Alleen ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang