XI

3.5K 319 20
                                    

Andi kaku sejenak, menatap tak percaya pada Namira. Mereka masih saling diam, tak ada satu suarapun yang terdengar dari bibir ketiganya.

Hingga akhirnya Andi beranjak, meninggalkan pergi begitu saja tanpa menjawab permintaan dari Namira.

Ridwan dan Namira diam tak percaya, dan saling membuang pandangan. Namira tertunduk, sedangkan Ridwan menatap kepergian Andi.

Beberapa saat, Namira ikut beranjak dari tempatnya, "Aku duluan ya, masih banyak pekerjaan," pamitnya pada Ridwan.

"Mir... "

Namira berbalik, kali ini memunggungi Ridwan, "Biar aku yang selesaikan urusanku sendiri.—Terima kasih karena telah membuatnya jujur, dan memberhentikan langkahku untuk terus membodohi diriku sendiri,"

Kali ini, Namira benar-benar pamit, ia melangkah maju dan lama-lama menghilang dari pandangan Ridwan.

Beberapa orang yang tersisa disana masih asik memandangnya, masih berbisik tentang pertengkaran tak masuk akalnya.

Ia tak kembali keruangannya. Kini tujuannya adalah parkiran, ia menaiki mobil milik kantornya yang bisa dipinjam kapan saja, akibat tadi pagi ibunya meminta mengantar ia sampai kekantor, membuatnya meninggalkan mobil pribadinya dirumah. Dan kini ia memutuskan untuk berangkat lebih cepat dari waktu yang ditentukan.

Entahlah, pikirnya saat ini kosong, ia sudah tidak bisa lagi berpikir. Bahkan, ia seperti tak percaya pada dirinya yang kini telah tersadar.

Langkahnya masih goyah, ia benar-benar melupakan rasa laparnya, ia melupakan dirinya.

Kini, rasa sakitnya diujung tanduk, ia merasa gagal tentang dirinya, gagal mempertahankan anak-anaknya, dan gagal mempertahankan pernikahannya.

Rasanya menyerah begitu gampang bagi Namira, ia lupa bahwa beberapa bulan ini, ia telah berusaha keras untuk memperbaiki kaca yang retak.

Rasanya Namira malu pada dirinya sendiri, janjinya, pendiriannya, keteguhannya. Hanya dengan sebuah pernyataan polos dari suaminya, membuat ia menunjukan diri bahwa tidak bisa membagi cinta.

Namira telah lama terluka, tentang keluarganya yang membuat ia takut memulai apapun dihidupnya.

Menikah dengan Andi adalah keputusan yang ia pikir paling besar dalam hidupnya, tetapi, perceraianlah yang membuatnya merasa lebih terbebani.

Bagaimana mungkin ia bisa, berjalan kokoh ditengah kantor saat ia melepaskan Andi untuk Freya.

Hal paling memuakan di dunia adalah, ketika kita ada disatu tempat yang sama dengan seseorang yang berusaha kita lupakan.

Namira bahkan tak percaya diri lagi, ia menciut setelah mengambil keputusan besarnya.

Walaupun ia tak tau apa jawaban Andi, walaupun ia tak tau siapa yang akan dipilih oleh suaminya. Tetapi, kepercayaan dirinya telah runtuh.

Emosi membawanya ketengah kekacauan, membuat ia melupakan anak-anaknya yang tersisa, yang sangat bahagia ketika kedua orangtuanya mendampingi langkah kaki kecil itu.

Semua omongannya dihari-hari kemarin, kini membuatnya malu. Ia yang bilang pada dirinya, pada hatinya, pada jiwanya, saat ia tidak akan memberikan rasa sakit yang sama pada anak-anaknya.

Kini, semua masalah lalu lalang di dalam otaknya. Belum lagi keadaan fisik yang kacau, bahkan ia masih dipaksa pada semesta untuk menemukan sang iblis dan mengurusnya.

Alih-alih datang lebih cepat Namira justru terlambat. Kini, Freya sedang menekuk kedua tangannya di atas dada penuh emosi.

Menikah Itu, Tidak Mudah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang