XIII

3.3K 309 27
                                    

Rasanya ia hampir terpisah dengan nyawanya, dengan mimik yang tidak bisa tergambarkan lagi, ia membelalakan matanya pada seseorang yang baru pertama kali ia lihat secara langsung selain dari televisi, kurang dari duapuluh empat jam ini. "Bagaimana kamu tau?"

Rendy melipat kedua tangannya di atas dada, "Andi bersama Freya bukan?" tanyanya kembali pada Namira, membuat wanita itu semakin jauh pada nyawanya, "Tenanglah! Alena tidak akan mendengar.—Ia berangkat lebih siang, dan baru akan bangun pukul enam nanti," imbuhnya.

Namira hanya bisa menutup bibirnya, tak satupun kata keluar dari dirinya, ia samasekali tidak mengerti dengan keadaan.

"Saya pernah tergoda oleh Freya, lebih jelasnya saya juga pernah menjadi kekasih wanita muda itu.—Beberapa bulan ini saya mencari siapa seseorang yang berhasil merebut Freya dari saya, ternyata pria itu Andi. Dari mediasosialnya saya melihat fotomu dan anak-anakmu" ujarnya terang-terangan.

Namira makin membelalak, ia makin tak percaya, "Kamu menyelingkuhi Kak Alena juga?"

"Semua laki-laki akan seperti itu pada masanya.—Setau saya, Freya tidak akan meminta pria yang ada dipelukannya untuk bercerai dengan istrinya. Duatahun saya bersamanya, tidak samasekali ia egois dan menjadikan saya miliknya satu-satunya. Tetapi, semalam Alena bercerita, katanya kamu dan suamimu akan bercerai. Apa kali ini permintaan dari Freya?" Rendy mencecar Namira dengan pertanyaan, dan menunjukan dirinya secara terbuka.

"Ini samasekali bukan urusanmu! Entah apa maksudmu menanyakan dan bersikap terbuka pada saya, tetapi masalah pernikahan saya tidak ada sangkut pautnya samasekali padamu yang bahkan saya tidak kenal dengan jelas!" bantah Namira tegas.

Rendy tertawa mengintimidasi, ia mendekat pada Namira dan mendorongnya sampai saling bertatap, "Jelas ini urusan kita, suamimu mengambil seseorang yang selalu membuat saya bahagia! Seharusnya kamu sebagai istri bisa menjaga pria itu, bukan melepaskannya pada wanitaku!" cercanya pada Namira, ia membelai ujung rambut wanita di hadapannya itu seperti seorang psychopat.

Nafas Namira memburu, ia berusaha tidak terlihat takut dan terintimidasi pada pria di hadapannya.

"Tarik suamimu dari wanitaku!" ujarnya lugas, ia mendekatkan bibirnya pada telinga Namira dan berbisik, "Saya bisa membunuhnya jika ia kelewatan pada wanita saya!" imbuhnya dengan senyum puas.

Namira tak mau kalah, ia tak mau disetir oleh siapapun lagi. Dengan segala keberanian yang ia kumpulkan, ia menyetop langkah kaki Rendy yang telah berbalik badan. "Tarik wanitamu dengan tangan sendiri, saya tidak akan pernah mengamiinkan dan mengikuti permainan gilamu!"

Balasan sederhananya mampu memprovokasi seorang Rendy, ia mengatup dan berbalik dengan tatapan kejamnya, "Seseorang yang sedang mengandung seharusnya tidak perlu terlalu berani. Saya bisa membuat kedua anakmu bernasib sama seperti anak sulungmu yang cacat! Hati-hati, saya tidak pernah main-main dengan semua ucapan yang saya lontarkan!"

Namira kaku, kali ini dia benar-benar kehilangan nyawanya, tubuhnya seperti sudah tak dihuni lagi oleh rohnya, ia terjatuh duduk di depan pembunuh anaknya.

"Kamu hanya seekor semut kecil Namira! Kamu bahkan tidak akan pernah mampu menangkap pembunuh anakmu, walau orang itu ada di depan mata. Selamat! Karena telah memenjarakan seseorang yang salah," akhirnya meninggalkan Namira sendiri.

Jika Namira menyebut Andi iblis, pria yang ia hadapi lebih dari seorang iblis. Rasanya ia begitu murka pada keadaan yang tidak pernah memihaknya samasekali.

Rasanya Namira masih tak percaya dengan Rendy yang ditemuinya malam hari, dan dipagi hari, dia benar-benar orang yang beda.

Mana mungkin orang sebaik Alena bisa bertahan dengan laki-laki brengsek yang selalu memakai topeng ini.

Namira ingin sekali menarik Alena dari ujung jurang, menahannya, dan merangkulnya. Tetapi, keadaannya tidak memungkinkan, dia tidak punya cukup tenaga untuk berhadapan dengan Rendy, dan masih harus berlari untuk Andi.

Kali ini Namira seperti seorang pengecut, ia lari tanpa pamit, ia pergi meninggalkan Alena di dalam nerakanya, "Maaf karena belum bisa menyelamatkanmu, kak!" gumamnya sebelum pergi.

Rasanya begitu takut, melihat mata Rendy, mendengar perkataan kasarnya, yang mampu mencabik-cabik hatinya.

Benar, ia sangat menyesal mengikuti langkah kaki Alena, niat baik dari seniornya itu, justru membuatnya semakin terluka dalam.

Lagi-lagi ia tak percaya pada semesta, mengapa orang-orang baik selalu ada di dalam lingkungan yang jahat.

Rendy bukan lagi predator, dia benar-benar seorang psychopat. Sudah pasti segala cara ia halalkan untuk membuat Namira ada di bawah kakinya.

Jika Rendy bersikeras untuk merebut kembali Freya, Namira justru bersikeras untuk menghindar dari segalanya.

Rendy benar-benar ancaman bagi anak-anak Namira, ia tak ingin terlibat apa-apa lagi pada para penjahat itu.

Ia tak pernah tau, siapa lagi yang memakai topeng, siapa lagi seseorang yang tampak depannya baik, tetapi, palsu.

Rasa percayanya kini benar-benar hilang, ia tak bisa mempercayai siapapun selain dirinya sendiri.

Tangannya tak berhenti bergetar saking takutnya, bahkan di dalam taksipun, ia merasa sedang dikejar-kejar.

Sudah semua doa ia sebut untuk menenangkan hatinya yang kacau, tetapi, ia tetap gelisah.

Perjalanan dari rumah Alena sampai kerumah sakit rasanya sangat jauh, dan Namira sudah sangat lelah.

Ia hampir tertidur pada perjalanannya, sampai akhirnya supir taksi itu menurunkan ia tepat di depan lobby.

Rasanya ia ingin segera pulang, tetapi janin mungilnya meminta ia untuk bertemu, langkahnya justru tertuju pada dokter kandungan, ia menjadi pasien nomor satu disana.

Tak memakan waktu lama, hanya basa-basi dan teguran keras seperti perkataan Alena, bayi itu terlihat kurang sehat, karena ibunya yang begitu stress akhir-akhir ini, ia bahkan kekurangan gizi.

Dengan penuh air mata, ia berjumpa dengan benih kecil itu di dalam layar. Betapa menyedihkannya ia, bahkan sebelum ia dilahirkan kedunia, ia sudah lebih dulu merasakan pahitnya kehidupan.

Dengan guntai Namira meninggalkan ruangan yang terasa sesak, tangisnya, penderitaannya, perasaannya, kini sudah tak karuan.

Bagaimana ia menghadapi anak-anaknya, bagaimana ia menghadapi suaminya, dan bagaimana ia menikam lawannya.

Rasanya dunia penuh dengan pemburu jahat yang tak henti-henti membuatnya berlari jauh, melukai sekujur tubuhnya, dan seisinya.

Nyatanya ia harus tetap menghadapi: Kembali menemui wanita itu, kembali menemui suaminya, dan kembali diburu lagi oleh pekerjaannya.

Semakin dekat acaranya, semakin tertekan pula Namira dalam pekerjaannya. Selalu, mereka selalu menghantam secara bersamaan.

Semesta masih memaksa dia tersenyum, masih memaksa dia berpenampilan baik, dengan langkah yang tidak boleh terlihat goyah sedikitpun.

Waktu begitu cepat mengejarnya, rasanya baru saja pagi tadi ia menghadapi seorang iblis, dan kini ia harus kembali lagi kerumah, dan bertemu dengan iblis lainnya.

Tentu saja, ia dikejar pula oleh permintaan perceraiannya kemarin, yang dengan sombong ia ucapkan, tanpa tau keadaan.

Andi segera meminta ia pulang. Seseorang yang kemarin lari begitu saja, kini memulai untuk menghantamnya lagi.

Mungkin ia sudah dapat penjelasan dari kekasihnya untuk sebuah jabatan, mungkin kini ia berani menghadap, karena merasa bisa mengalahkan Namira.

Tetapi, rasa takut miliknya sudah tak berarti lagi untuk Andi. Asalkan bukan Rendy, Namira bisa melawannya.








*****
To Be Continued

Menikah Itu, Tidak Mudah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang