Bab 9 | Hope

85 24 9
                                    

Playlist song | Reckless—Madison Beer

Arumi POV

Dingin sekali malam ini, padahal jam baru menunjukkan pukul delapan. Jakarta memang sedang tak baik dengan musim penghujan. Malam hawa dingin begitu menusuk dan pagi pun sama saja, bahkan semilir angin meniupkan dingin. Tak baik untuk orang yang tak terlalu suka dingin sepertiku.

Sampai di jalan belokan Apotik Wicjaksono, motor berhenti. Aku segera turun yang memberi uang bermata dua puluh ribu pada tukang ojek online. Walau jarak rumah dan tempat ini tak begitu jauh, aku tetap tak ingin berjalan. Yang benar saja berjalan malam-malam, apalagi perempuan cantik sepertiku.

"Makasih ya, Mas," ucapku setelah laki-laki berjaket hijau menerima uluran uang.

"Sama-sama, Mbak." Laki-laki yang sepertinya masih kuliah itu berlalu, meninggalkanku di belokan menuju apotik.

Kakiku melangkah pelan, niat hati ingin ke apotik, sekedar membeli vitamin karena pertahanan tubuhku tak cukup baik. Tapi, dua sosok yang sedang tersenyum di depan sana membuat langkah terhenti. Mata ini terpaku, terpekur dengan lintasan masa lalu yang mulai memenuhi benak. Hatiku kembali terguncang.

Lutfi, pria itu tersenyum bahagia bersama wanita dalam gandengannya. Hal yang belum kami lakukan dulu. Lagi-lagi kenyataan dengan tega menghempas diriku begitu keras. Sakit rasanya.

Tanpa bisa dikontrol, buliran air raga meluap dengan deras dari netra ini. Menyuarakan kesedihan yang teramat menggerus hati. Luka ini memenjara keberanianku untuk bisa bangkit dan kembali berjalan lagi. Hanya ada rasa takut akan adanya luka lain yang tak bisa kuatasi dengan tangis. Aku takut.

Kedua tangan ini membekap erat mulut, mencegah raungan kesedihan lolos. Sudah cukup selama ini aku hidup dengan rasa malu karena kegagalan pernikahan. Rasanya, sedikit lagi luka yang menciderai batin, maka habis sudah diriku. Tenggelam dalam pahitnya takdir.

Lutfi ... mengapa caramu harus semenyakitkan ini?

"Arumi."

Suara itu membuat hati semakin tak karuan. Hadrian, pria itu berlari padaku sembari melepas kacamata hitam. Sorot mata kekhawatiran yang dia berikan begitu lancang membuatku berharap. Ingin rasanya berteriak dan menyuruhnya pergi, tapi tangisan ini menggagalkan segalanya.

Sosok itu berhenti di hadapanku, menatap diri yang rapuh ini dengan sorot sendu. Bisakah takdir menarik fakta jika ia yang telah membawa lumbung kesedihan bernama Lutfi itu kembali dalam hidupku? Rasanya sangat sulit untuk berdamai dengan fakta menyakitkan itu.

Netraku memejam erat, tak lagi sanggup menatap manik cokelat gelap yang menjerumuskan perasaan itu. Tangan ini meluruh seiring dengan suara tangis yang perlahan mengeras. Aku kalah, terlalu sakit untuk menghadapi semua ini.

Pundakku bergetar, menandakan ketidaksanggupan untuk menanggup lebih banyak lagi beban.

Sepasang tangan perlahan menyentuh pundak ini, menyalurkan kehangatan dalam sentuhan. Sentuhannya menuntun kepala ini untuk mendongak, menatap sorot sendu itu.

"Saya di sini, Arumi."

Kalimatnya dengan lancang membuat nyeri di dada semakin hebat. Tak tanggung bibir ini meloloskan raungan kesedihan. Hati menolak untuk berharap lebih, tapi kenyataan menuntun perlahan untuk menaruh harapan.

[HS1] Bukan Nirmala (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang