Bab 25 | Halo, Kanada!

56 18 1
                                    

ARUMI POV

"Berarti kamu besok ngerayain natal di sana, dong?"

Wajah Hadrian begitu fokus menyetir ketika aku menoleh. Bulu-bulu halus di sekitar bibir tipis itu semakin menambah kadar ketampanan yang bisa membuatku overdosis. Cukup berlebihan untuk ukuran seorang perempuan yang baru kali ini berinteraksi jauh dengan pria bertampang bule sepertinya. Poor, Arumi.

Hadrian menoleh sekilas, "Iya, kita udah ditunggu Mama sama Cecil di bandara sekarang."

Seorang gadis kecil yang digendong oleh Hadrian beberapa waktu lalu langsung terbesit di kepalaku ketika ia menyebut nama itu. Niat hati ingin merespon, aku justru terpekur dengan menatap jalanan pagi.

"Cecil itu an-"

Aku segera menoleh, memotong kalimat Hadrian. "Aku udah tahu, dia anak kamu dengan Shofiya."

Dan ketika ia berkata, "How did you know that? About Shofiya." Saat itulah aku tergagap, tak siap dengan pertanyaan barusan. Merutuk keras atas kelancangan bibir ini.

Tak lantas menjawab, Hadrian kembali bersuara dengan nada mengintimidasi. "Kamu menguntit saya lagi, Arumi?"

"Nggak!"

Mobil berhenti, kali ini aku benar-benar mengutuk lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah. Bagaimana bisa keadaan menjebakku seperti ini? Seakan tak ada lagi kesempatan untuk melakukannya.

Alhasil, dengan ragu menatap manik biru laut milik Hadrian yang begitu tajam. Sedang di dalam sini, antara hati dan pikiran tak ingin selaras. Mengatakan kejujuran berpotensi merusak hubungan kami dan mengatakan kebohongan hanya akan memperkeruh keadaan.

Tanpa sadar aku menggigit keras bibir bawahku, "Ak-"

"Just tell me, Arumi. Be honest."

Dan kalimatnya sekarang hanya memperkeruh suasana hati, lampu merah sialan. "Tapi kamu jangan marah, ya?"

Wajah yang semula mengeras itu melunak begitu mendengar suaraku begitu memelas. Sedikit lega, dan sangat bersyukur ketika lampu merah berubah menjadi hijau. Hadrian segera melajukan mobil. Tapi, ini semua tidak bisa menjamin.

"Kita bicarakan ini ketika di rumah saya nanti."

Mampus, jadilah aku sepanjang jalan hanya memikirkan bagaimana cara agar semua penjelasan nanti tak membuat hubungan kami berantakan. Dalam hati tak henti merutuki diri yang bisa lepas kendali. Benar-benar kau, Arumi.

Jalanan Kota Metropolitan pagi ini cukup sibuk, suara klakson bersahutan ketika lampu merah. Aku melirik Hadrian yang nampak menggelengkan kepala, persis seperti orang yang tak habis pikir dengan tingkah warga +62.

"Kamu bawa obat dari Dokter Agnes?"

Aku mengiyakan pertanyaan barusan seraya melihat area bandara yang tak kalah sibuk. Lalu lalang orang-orang dengan berbagai urusan membuat helaan napas panjang lolos dari hidung.

Sampai di area parkir mobil, kami turun dan disambut oleh dua orang pria berseragam hitam. Perawakannya seperti seorang bodyguard, ah, yang benar saja Hadrian menyewa orang-orang ini untuk itu.

Hadrian membuka bagasi, mengeluarkan koper dibantu pria yang dilihat dari perawakannya masih muda itu. Mereka terlihat cukup akur, terlihat dari bagaimana sang majikan mengajak bawahannya berbicara.

"Hati-hati Pak Wit." Hadrian menepuk pundak pria yang lebih tua seraya menyerahkan kunci mobil. Sedangkan, pria itu hanya mengangguk sopan. Pemandangan yang berhasil membuatku tersenyum.

[HS1] Bukan Nirmala (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang