"Kamu sudah makan malam?" Kepala mama menyembul dari balik pintu kamarku.
Aku menoleh padanya, tersenyum seraya berkata, "sudah, Ma." Jawabku.
"Baiklah, kalau kamu mau camilan kamu ambil di dapur ya. Tadi Mama sudah membeli beberapa."
"Terima kasih, Ma."
"Jangan belajar terlalu larut. Jaga kesahatan." Pesannya sebelum menutup pintu.
Aku mendesah pelan, sepanjang yang kubaca belum ada satupun penjelasan logis tentang apa yang kualami, dan yah kenyataannya apa yang kualami sama sekali tidak logis. Hal seperti ini sering kulihat dalam film-film, membuatku berpikir bahwa film-film itu berasal dari kisah nyata yang sama sepertiku. Apa ini yang disebut dengan penglihatan? Vision? Jendela gaib? Mata batin?
Ah, entahlah kepalaku berdenyut, kudorong kursiku ke belakang, aku berdiri, membuka pintu dan berjalan ke dapur. Menikmati camilan dengan segelas teh lemon hangat sembari menonton drakor sepertinya menyenangkan untuk saat ini.
Satu gelas besar teh lemon hangat berada ditangan kanan, sedangkan satu toples keripik pisang, setoples keripik kentang ada dalam dekapan tangan kiriku. Ku dorong pintu kamar menggunakan bahu lalu menutupnya dengan kaki kiriku.
Sebuah sofa berwarna abu yang cukup besar berada didekat jendela menjadi tujuanku. Gelas teh dan toples-toples itu sudah beralih ke meja belajar dengan menggeser buku yang kubaca tadi.
Teh lemon hangatku sudah habis setengah, begitu juga dengan keripik kentangnya. Drama korea yang ku tonton adalah yang sedang hits saat ini, The Penthouse. Seru dan menegangkan dan aku hampir histeris ketika layar ponselku yang menampilkan adegan menegangkan itu berubah menjadi dering yang cukup keras. Aku mengelus dada pelan, menghilangkan keterkejutan dalam diriku lalu menekan panggilan video dari aplikasi hijau itu.
"Fay,"
Panggilan heboh disana membuatku menghela napas.
"Apa?" Sahutku ketus.
"Jangan ketus ih, aku tahu kamu belum tidur. Kamu pasti lagi nonton drakor kan?" Tebaknya sok tahu dan memang ia tahu betul siapa aku.
"Ada apa Gia? Kamu ngagetin tahu, lagi asik-asik nonton tiba-tiba kamu menelpon." Protesku.
"Maaf, tapi aku nggak bisa nahan diri buat nggak ngasi tahu kamu." Katanya. Wajah yang berbinar dan tidak sabaran itu pastilah sesuatu yang benar-benar membahagiakan.
"Aku mendengarkan." Ucapku.
"Faruq ajak aku jalan-jalan akhir pekan ini."
"Bukannya kalian selalu berakhir pekan bersama." Jawabku sinis. Aku bahkan tidak menyangka akan sesinis ini, mereka memang sering berakhir pekan bersama, jalan-jalan ke mall, makan jagung bakar dipantai, atau meninton bioskop.
"Kali ini beda," seru Gia.
Baiklah apapun itu pasti sesuatu yang spesial. Duh, hatiku nyeri.
"Keluarga Faruq akan berlibur ke puncak, dan dia mengajakku. Keluarganya mengundangku."
Oke. Hatiku semakin nyeri. Gia dan Faruq akan berlibur bersama di puncak, bersama keluarga Faruq. Aku tidak bisa mengatakan kalau aku turut bahagia mendengarnya karena nyatanya tidak begitu.
"Fay, kamu masih disana? Kamu denger cerita aku kan?"
"Iya." Balasku singkat.
"Hanya iya? Ini luar biasa, Fay." Nada bahagia dalam suara Gia memaksaku untuk mengatakan kebohongan ini.