TS _ 4

80 26 9
                                    

Hai hai hai
Maaf ini apdetnya rada lama ya, lagi banyak acara di kampungku belum lagi si kecil sakit belum lagi aku ngadon tepung 😆 aduuuuh bener2 emak rempong ya 😅

Insya Allah dijalani dengan penuh syukur☺ kalian juga harus tetql semangat, jaga kesehatan diri dan keluarga dan jangan lupa vomen ya 😍🤩😘
.
.
.
.
.
.
.

Seminggu berlalu setelah perayaan ulang tahunku yang ke tujuh belas. Aku dan Cane lebih dekat dari sebelumnya, sikap ketusku padanya juga mulai berkurang, ingat ya berkurang bukan menghilang. Begitu juga dengan Gia dan Faruq, mereka malah sudah go public di sekolah.

Lalu hal yang tidak ku sangka terjadi, ketika pelajaran olahraga tengah berlangsung telingaku kembali berdenging hebat, aku yang sedang dalam posisi siap untuk menerima bola voli tiba-tiba terduduk. Kedua tanganku menutup telinga rapat-rapat. Mata terpejam sangking kuatnya dengingan itu.

Terdengar teriakan histeris dari teman-temanku ketika kurasakan tubuhku berdebum membentur tanah.

Dua puluh menit kemudian aku terbangun di ranjang ruang uks, aroma minyak kayu putih tercium dihidungku.

Sepi.

'Apa nggak ada yang menjagaku?' Tanyaku dalam hati. Sudahlah, aku menyingkap selimut berwarna hijau di badanku lalu beranjak turun. Terdengar suara langkah-langkah kaki di luar. Aku berjalan pelan karena telingaku masih berdenging meski tidak sekencang tadi.

Aku mendekati jendela, berusaha melihat siapa yang lewat. Bukan apa-apa, dari obrolan mereka terdengar sangat menyenangkan. Namun aku hanya melihat salah seorang guru saja. Aku beranjak dari jendela, tujuanku adalah pintu.

Klek.

Pintu terbuka, setelah berada di depan pintu aku alihkan pandanganku pada kedua guru itu.

'Hah,'

Aku yang baru saja merasakan tubuhku sudah menemukan nyawanya kini kembali lemas, dada berdebar kencang, seolah dunia ini berputar, beruntung tanganku masih memegang gagang pintu.

Wanita yang berjalan disamping ibu guru Nina tidak memiliki kepala, aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Ketakutan luar biasa tiba-tiba menyelimutiku. Jantungku berdetak cepat, lalu samar kudengar suara Gia bercakap-cakap dengan bu Nina. Kembali ku melihat ke arah mereka dan aku kembali terkejut. Guru disebelah bu Nina kepalanya masih ada. Maksudku, aku bisa melihatnya tidak seperti tadi. Setelah bercakap-cakap sebentar terlihat kedua guru itu menaiki tangga dan Gia berjalan ke arahku.

Ruang kesehatan di sekolahku berada dilantai satu, dan tidak jauh dari tangga. Aku belum bisa mencerna apa yang kulihat tadi. Apa mungkin penglihatanku yang salah? Mana bisa seseorang yang tidak memiliki kepqla masih bisa berjalan dan mengobrol? Kenapa bu Nina nggak ketakutan? Atau jangan-jangan hanya aku yang melihatnya. Aku bergidik ngeri, perlahan kuayunkan langkah kembali ke sisi ranjang, pikiranku kemana-mana.

"Kamu sudah sadar?"

"Iya." Jawabku lemah. Gia mendekatiku, terlihat segelas teh hangat dan sebungkus roti ditangannya.

"Minum dan makanlah." Katanya.

Aku mengangguk sembari menerima teh itu dari tangannya.

"Terima kasih." Ucapku setelah meminum teh hangatnya dan aku mulai menggigit roti yang disodorkan Gia padaku.

"Kamu kenapa bisa pingsan? Belum sarapan?" Tanyanya.

"Sudah."

"Lalu?"

Aku tidak tahu apakah harus menceritakan tentang telingaku yang berdenging dan penglihatanku tadi pada Gia. Aku takut dia akan mengataiku, dan mungkin dia bosan mendengar cerita tentang telingaku.

The SignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang