Dia duduk di depanku, punggungnya jadi pemandanganku setiap hari. Anaknya mudah bergaul dengan siapa saja, jadi banyak teman. Berbeda denganku yang tak punya teman dan hanya memikirkan ranking kelas.
Aku sering memperhatikannya diam-diam, memperhatikannya dari jauh. Meskipun kami duduk depan-belakang, kami tak pernah mengobrol, bahkan bertegur sapa saja tidak pernah.
Sejujurnya aku ingin mencoba mengobrol dengannya, tetapi aku terlalu gugup. Aku malu. Apalagi dia punya banyak teman, nanti aku ditanyai macam-macam oleh teman-temannya.
Suatu hari dia tak membawa pulpennya, jadi dia berbalik ke belakang menatapku."Kamu bawa pulpen berapa?" tanyanya kepadaku. Oh God, jantungku berdetak berkali-kali lipat. Tanganku sampai gemetar.
"Ini kalau mau pinjam," kataku sambil memberikannya salah satu pulpen kebanggaanku. Dia tersenyum. "Terima kasih," ucapnya. Mungkin aku menahan napas melihat senyumnya.
Selama pelajaran berlangsung, aku tak bisa konsentrasi karena memikirkan hal tadi. Sial, bahkan aku salah menjawab soal matematika. Guruku sampai bertanya apa aku sedang ada masalah keluarga.
Pulang sekolah, dia mengembalikan pulpenku. "Makasih, ya," katanya. Aku tak berani menatap matanya, tapi aku mengangguk.
Setelah sampai di rumah, aku letakkan pulpen yang ia pinjam tadi di etalase kaca, bersama dengan piala-pialaku.
Setelah kejadian itu, tak ada hal yang terjadi. Hanya aku sendiri yang diam-diam memujanya, yang diam-diam berharap bisa bersamanya. Oh ya, aku lupa bilang kalau aku kelas tiga SMA saat ini. Waktu kami terbatas, bahkan dua bulan lagi kami akan ujian.
Hari itu aku makan di dalam kelas, memakan bekal yang disiapkan oleh ibuku pagi tadi. Tiba-tiba, salah satu temannya menghampiri mejaku. Aku menatapnya keheranan.
"Taehyun suka sama kamu, mau kamu jadiin pacar enggak?"
"ENGGAK!" jawabku spontan. Taehyun ada di belakangnya.
"AHAHAHA kasihan Taehyun ditolak sebelum menembak," katanya sambil menepuk-nepuk bahu Taehyun.
Bodoh!
Aku kira tadi hanya gurauan, jadi aku menjawab seperti itu. Sekarang Taehyun tak mau menatapku. Ah, bagaimana ini?! Aku kehilangan kesempatan emas.
Hari-hari berikutnya hingga ujian nasional selesai, Taehyun tak bicara apapun kepadaku. Ya, walaupun biasanya dia memang tak bicara denganku, tapi sekarang rasanya lain. Aku jadi sedih sendiri.
Hari itu cap tiga jari, kami bertemu di sekolah. Lorong guru masih agak sepi, karena sedang jam pelajaran. Aku berjalan sendiri di sana. Ku lihat sesosok lelaki duduk di kursi lobi, itu Taehyun. Ia akan beranjak.
"Taehyun!" seruku. Ia menoleh ke arahku.
"Beomgyu?"
Aku memikirkan apa yang harus kukatakan, aku bingung. Bagaimana ya ini?
"Setelah lulus kamu mau ... kemana?" tanyaku.
"Aku lanjut di Institut Seni yang di tengah kota. Kamu sendiri gimana?"
"A—aku lanjut ke ITB."
Taehyun tersenyum. "Selamat, ya. Bakal jadi anak rantau, dong."
Aku mengangguk, tapi masih ada hal yang mengganjal di hatiku. Kulihat ia melihat jam ditangannya. "Beomgyu, aku duluan, ya."
"Sebentar Taehyun!" kataku spontan. Taehyun melihat ke arahku, mimik wajahnya seolah mempersilakanku untuk bicara.
Jantungku kembali berdetak kencang, sedangkan tanganku gemetar. Bibirku berusaha terbuka untuk mengucapkan kata itu, kata yang menunjukkan perasaanku padanya. Aku ingin mengatakan bahwa aku menyukainya.
"Sukses selalu."
Sial! Apa yang ku katakan!
"Kamu juga," jawabnya lalu pergi. Lagi-lagi aku kehilangan kesempatan. Beomgyu bodoh. Aku merutuki diriku sendiri. Dan bodohnya aku tak sempat meminta nomor ponselnya.
Sekarang sudah tiga tahun berlalu, kulihat dia sudah punya kekasih. Banyak foto-foto mesra yang diunggahnya di media sosial. Kalau aku? Aku hanya mahasiswa biasa, masih sama: mengejar nilai, dan memperhatikannya dari jauh.
Selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
BAKING POWDER | Kumpulan Cerita Taegyu
FanfictionBerisi kumpulan cerita pendek Taegyu BL Fan fiction