"Kamu! Iya kamu! Kamu dengar tidak saya bicara? Kalau mau melamun, sana pulang aja!"
Itu suara Beomgyu Sensei yang memarahiku. Maklum, aku terlalu terpesona menatap wajah glamor nan manis itu, hingga tak dapat mataku teralihkan oleh yang lain.
Sebetulnya, beliau bukan guru bahasa Jepang, atau berasal dari Jepang. Murid-murid juga memanggilnya dengan sebutan "Pak Guru". Hanya aku seorang yang memanggilnya "Sensei"—walau hanya dalam imajiku sendiri—karena pernah suatu ketika aku melihatnya memasuki acara jejepangan sambil membawa lightstick dan berfoto dengan cosplayer Boa Hancock.
"Maaf, Pak."
Tatapan beliau begitu tajam walau sedikit terhalang kacamata bulat silindernya. Meskipun begitu, di mataku beliau tetaplah manusia paling manis sejagad raya. Bilang saja aku ini lebay, toh nyatanya memang seperti itu—lebaynya.
Usiaku saat ini menginjak delapan belas tahun, sedang beliau kalau tidak salah ingat dua puluh enam tahun. Hanya berbeda ... ah, aku tak pandai matematika, maaf, tapi aku pintar berbahasa Inggris. Misal, bahasa Inggrisnya "Pasangan hidupku" itu "Choi Beomgyu" hahaha.
"Taehyun, bisa minta tolong hapus papan tulis?"
Yes! Beliau menyebut namaku! Ah, senangnya dalam hati, bila beristri dua.
"Iya, Pak!" kataku semangat maju ke depan, menghapus papan tulis dengan gairah membara sampai kepalaku mengeluarkan api.
Masa SMA yang indah, bukan? Sayang, aku harus lulus tanpa sempat mengucap kata cinta kepadanya. Aku terlalu minder, ini jujur. Karena pernah seorang guru wanita bercerita tentang masa mudanya padaku. Beliau bercerita bahwa salah seorang siswa menyatakan cinta padanya, tetapi ia tak bisa membalasnya karena malu. Beliau berpikir apa yang akan orang-orang katakan jika guru perempuan menjalin asmara dengan anak didiknya? Sulit, bukan?
Sekarang aku sudah bekerja. Ya ... meskipun belum kaya raya seperti Bang Hotman Paris, tapi setidaknya aku hot man dan mampu bayar wifi sendiri—dibuktikan dengan koyo yang menempel dimana-mana. Sebenarnya aku juga sudah mampu membiayai wife sendiri, tapi sayangnya belum ada. Umurku sekarang sepertinya dua puluh tujuh tahun—jika aku tak salah hitung karena akta kelahiranku hanyut terbawa banjir.
Walaupun sudah siap nikah begini, tapi aku belum menemukan calon yang pas—kalau salon banyak, apalagi salonpas. Bayang-bayang Beomgyu Sensei masih menutupiku. Jangan kira aku tak berusaha mendapatkannya, ya! Aku pernah berkunjung ke sekolah untuk mencarinya, tapi beliau dipindahtugaskan. Aaaah, hancur celanaku digerogoti anak tetangga.
"Maaf, bisa geser sedikit?" suara seorang lelaki mengalihkan perhatianku dari kegiatan senggangku memuja Jihyo Twice yang bernyanyi TT. Aku menggeser pantatku yang tepos untuk duduk di dekat jendela bus.
"Makasih," ucap lelaki itu. Suaranya familiar, tapi aku tak dapat menerkanya karena ia memakai topeng—maksudku masker.
Bulu matanya panjang, seperti mengenakan extension yang biasa dipakai oleh rekan kerjaku supaya terlihat badai. Ku dengar, biaya pemasangannya cukup mahal, tapi sepertinya miliknya ini asli karena hanya satu layer.
"Mau kemana, Mas?" tanyaku basa-basi.
"Mau ke Solo. Mas sendiri mau ke mana?"
"Saya juga ke Solo." Ya iyalah, kan ini bus travel jurusan Solo. "Solonya mana, Mas?" tanyaku.
"Jebres, Mas. Kalau Masnya?"
"Saya bichi naneun solo," ucapku memberikan gestur satu telunjuk di depan belikat sambil bergoyang-goyang. Mas-mas ini memberikan tatapan jijik padaku. Aku tertawa canggung, lalu meminta maaf karena sebentar lagi lebaran.
"Mas, saya merasa pernah dengar suaranya, kalau boleh tahu namanya siapa, ya?" tanyaku dengan berani karena rasa penasaranku sudah ada di ujuk tanduk sedang otakku yang cetek tak mampu berpikir.
"Saya Beomgyu, kalau Mas?"
Kalau orang Korea biasanya akan bilang "omo!" tapi karena aku orang Jakarta, jadi aku bilang, "Choi Beomgyu, bukan?"
"Kok tahu?"
Aku menelan ludahku sendiri gugup, tanganku sampai gemeteran, dan leherku berkeringat dingin. Aku belum makan dari pagi.
"Saya ... Kang Taehyun, dulu pernah Bapak ajar pelajaran Geografi di SMA."
"Lho? Alumni SMA 3?" Choi Beomgyu menatapku dangan mata berbinarnya.
"Iya, Pak," jawabku.
"Di Solo mau ngapain?"
"Mengais rezeki, Pak. Kalau Bapak ngapain?"
"Saya pulang ke rumah orang tua."
Aku mengangguk mengiyakan. Hati kecilku senang sekali bisa bertemu dengan Bapak-bapak ini lagi.
"Bapak, maaf, sudah menikah?"
"Belum."
"Sudah punya pacar?"
"Baru putus sebulan yang lalu."
"Bapak, boleh saya panggil dengan panggilan lain?"
"Beomgyu aja," kata Beomgyu aja.
"Maksudnya kalau saya panggil 'Sayang' apakah boleh?"
Lagi-lagi beliau memberiku tatapan jijik. Memangnya senajis apa sih kelakuanku?"Pak, saya punya poster Boa Hancock 3x4 meter di rumah, lho!"
"Gede banget, kamu mau buka pameran?"
"Yah, kalau saya sih nggak ada yang bisa dipamerin selain perasaan saya ke Bapak yang masih utuh sejak dulu."
"Maksud kamu apa godain saya begini?"
"Saya udah lama suka sama Bapak, tapi nggak pernah punya kesempatan untuk bicara. Saya kira ini saat yang tepat karena saya nggak tahu apakah kita bisa ketemu lagi, Pak."
"Emang kamu mau kemana?"
"Saya mau ke toilet, Pak."
Bus berhenti di rest area tol Salatiga. Berjejer kios pedagang Starbeck, Soloria, Kopi Keningan, bahkan kaos Poma pun ada, tapi aku hanya butuh toilet saat ini karena kencingku sudah di ujung.
Tak ku sangka saat aku selesai menuntaskan hajadku, Pak Beomgyu ada di depan pintu kamar mandi. Kami berhadapan, saling pandang.
"Bapak ngapain?" tanyaku polos.
"Saya ngantri."
Aku hanya mengangguk, lalu berjalan ke luar menuju kedai Kopi Keningan dan membeli kopi yang harganya tak lebih dari lima belas ribu berkat promo Syofipay. Kusedot kopi itu sambil duduk memandangi sekitar. Hatiku sakit saat melihat Pak Beomgyu keluar dari kedai Starbeck sambil membawa kopi yang tampaknya berharga lebih dari lima puluh ribu. "Kesenjangan apa ini!"
Aku bergegas kembali ke bus, lalu memakai jaketku yang bergambar logo akatsuki. Tak lama Pak Beomgyu datang dan duduk di sebelahku.
"Kamu suka Naruto?" tanya Pak Beomgyu padaku.
"Saya sukanya Akatsuki, Pak."
Pak Beomgyu mengeluarkan sebuah benda dari dalam tas ranselnya. "Ini buat kamu."
"Apa ini, Pak?"
"Menurutmu ini apa?"
Ya memang, aku bisa melihatnya, sebuah pelindung kepala ninja dengan lambang konoha tercoret di tengah persis seperti milik Itachi.
"Bapak serius?"
"I--iya, saya serius. Saya juga suka Akatsuki."
"Kalau akad sama saya suka nggak, Pak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BAKING POWDER | Kumpulan Cerita Taegyu
FanfictionBerisi kumpulan cerita pendek Taegyu BL Fan fiction