3. Dad and A Stranger Woman

33 5 3
                                    

Hari ini aku bangun kesiangan. Aku melihat jam di handphone-ku, memastikan bahwa aku masih memiliki cukup waktu untuk pergi ke sekolah.

Setelah itu, aku bergegas mandi dan menyiapkan alat sekolah. Aku bahkan tak punya waktu untuk menyiapkan sarapan dan bekalku sendiri.

Setelah aku terbangun, aku menyadari bahwa ayah sudah tidak ada di rumah. Ayah mungkin tahu aku kelelahan dan memutuskan untuk tidak membangunkanku yang langsung tertidur selepas salat subuh.

Aku menemukan makanan di atas meja yang mulai mendingin. Namun tatapanku terpaku pada surat kecil yang ditempel di sebelah kanan piring. Aku pun mengambilnya.

Ayah memasak hari ini untuk berjaga-jaga jika
kau bangun kesiangan. Sarapanlah sebelum berangkat ke sekolah.

Ayah.

Aku tersentuh. Bagai seorang peramal, ayah tahu segalanya.

Sejak pindah ke Kota Seoul di Korea Selatan, ayah memang banyak berubah. Ayah menjadi pribadi yang lebih hangat dari sebelumnya. Aku senang karena ayah menepati janjinya.

Ah, jika mengingat tentang kesulitan yang kualami dulu, aku selalu ingin menangis. Tak menyangka bahwa situasi akan berubah secepat ini.

Namun, aku sadar kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuk menangis.

Bergegas atau aku akan terlambat ke sekolah.

°°°

Sesampainya di depan kelas, aku berusaha untuk menetralkan detak jantungku. Berharap tidak akan ada masalah hari ini.

Namun, saat aku baru masuk ke dalam kelas, aku langsung disambut dengan kata-kata yang tak enak didengar telinga. Mereka berbisik-bisik hal buruk tentangku.

Aku paham, mengapa aku diperlakukan begitu. Itu karena aku dianggap kolot dan berbeda. Mereka menatapku aneh, namun aku berusaha bersikap biasa saja.

Pelajaran segera dimulai. Aku berdoa di dalam hati, karena di sekolah ini kami memulai pelajaran tanpa sesi berdoa.

Kalian pasti tahu alasannya. Ya, karena sebagian besar penduduk tidak memiliki agama.

Aku mengeluarkan buku paket matematika dan...

Tunggu, sepertinya ada yang ketinggalan?

Ah, kotak pensil. Dasar ceroboh. Kenapa juga harus ketinggalan?

Aku menoleh ke samping kananku dan menatap Jang In Na. Apakah aku harus meminjam pulpen padanya?

Aku mencoba bersuara, "Hm, In Na?"

Jang In Na menoleh ke arahku sejenak, lalu ia kembali fokus pada pelajaran.

"Aku boleh pinjem pulpen? Kotak pensil aku ketinggalan." Ujarku pelan, takut didengar oleh guru.

Aku menunggu selama beberapa saat, tapi In Na tidak bereaksi apa-apa. Ia justru memasukkan kotak pensilnya ke dalam laci.

Aku tersenyum kecut, lalu menghela napas panjang. Entah kenapa dadaku terasa sesak. Memang benar aku terbiasa sendiri tanpa teman, tapi tetap saja ini menyakitkan. Karena, aku tidak pernah diperlakukan seburuk ini sebelumnya.

°°°

Hari menjelang sore. Jam pelajaran telah berakhir, namun aku masih harus tetap di sini untuk mengikuti pelajaran tambahan. Bekalku tadi siang masih tersisa, tapi aku sedang tak berselera makan.

The Moment With 131Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang