Bagian 5 Di Balik Awan

135 8 1
                                    

Bakat terbentuk dalam gelombang kesunyian,
watak terbentuk dalam riak besar kehidupan.
- Johann Wolfgang von
Goethe


Nanto membuka mata dan menggeliat.

Sinar matahari masuk ke dalam kamar dan langsung menerangi sudut-sudut gelap. Udara lembab semalam terbias digantikan oleh segarnya udara pagi yang menyelinap melalui liang angin-angin. Kamar yang tidak begitu besar terasa menjadi lebih luas ketika pagi menjelang. Suara motor terpacu menderu dan langkah kaki berderap terburu di luar sana membuat pagi ini terasa...

Terasa...

Terasa... apa ya...?

Indah mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan pagi ini. Berbeda barangkali lebih tepat. Ya, pagi ini terasa berbeda. Biasanya Nanto merasakan pagi di kamar yang jauh lebih sederhana, dengan suara salak si Sagu rewel membangunkan, lenguhan sapi yang bahagia menantikan datangnya rerumputan, gemericik air terkucur, dan keciap anak ayam yang bermain-main menikmati luasnya pekarangan – semua itu bahkan ketika matahari belum benar-benar menggantikan pelukan rembulan, kala sang surya dan dewi bulan masih saling melepas rindu di ufuk, di antara mega.

Bangun tidur dengan badan yang masih terasa pegal karena lelahnya kesibukan seharian kemarin, Nanto kembali menggeliat dengan nyamannya, malas rasanya beranjak. Bau kasur dan bantal teramat sedap. Kemarin harinya begitu padat dengan kejadian-kejadian yang tidak ia duga akan terjadi. Bahkan semalam ia mengakhirnya dengan... ugh.

Nanto mencari-cari ponselnya. Ia menemukannya di dekat meja, kelupaan ia charge sampai pagi. Kebiasaan buruk memang. Ia sering lupa mencabut kabel charger gara-gara ketiduran. Mudah-mudahan saja ponsel ini tidak gampang kembung baterainya.

Sambil tiduran kembali, Nanto membuka aplikasi WhatsApp. Memilih salah satu nama, lalu scroll ke atas, membaca percakapan sejak awal.

Pesan pertama sih simpel: "Kamu lagi apa? Asty."

Tapi efeknya dong. Mata berkunang-kunang, jantung deg-degan, dan si otong denyut-denyut.

Ya. Bu Asty menghubunginya. Bu Asty yang itu. Yang cantiknya bikin jakun naik turun, yang seksinya bikin joni berasa seperti batang kayu jati. Bertemu Bu Asty itu ibarat candu, memabukkan. Kenapa sih Bu kamu harus semempesona itu? Kenapa kulitmu harus seputih pualam dan bibirmu begitu mungil minta dikulum? Yang lebih penting lagi... kenapa kamu... berstatus... istri orang?

Ah, Nanto. Apa kamu sedemikian payahnya sampai-sampai harus menganggu rumah tangga orang? Apa ga bisa cari cewek lain? Ayolah, Nyuk. Tidak ada hal positif yang bakal kamu dapat kalau begini terus. Kamu meletakkan hatimu secara gegabah di atas arang, hanya akan terbakar.

Nanto menarik napas yang terasa berat dan melirik ke arah ponselnya, ia lantas membaca lanjutan percakapannya, mengulang apa yang semalam terjadi sesampainya di rumah.

"Maaf baru balas, Bu. Saya tadi di jalan. Baru pulang."

Semalam pesan itu baru dibalas lima belas menit kemudian.

"Tidak apa-apa. Kok baru pulang? Jalan-jalan sama Tante sama Om kamu?"

"Sendirian, Bu. Dari pagi saya belum pulang kok."

"Haaaah!? Dari pagi? Dari sejak kamu ke CB?"

"Iya. Banyak banget kejadian hari ini. Hahaha."

"Ealah. Ini anak kok betah banget ya main seharian, ga risih ga mandi. Jadi curiga."

"Maksud Ibu?"

JalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang