Bagian 7 Dua Dalam Satu Dunia

67 3 0
                                    

Persahabatan bukanlah sesuatu yang bisa kau pelajari di sekolah.
Tapi jika kamu belum belajar arti persahabatan,
maka kamu belum belajar apapun.
- Muhammad Ali.


.: BEBERAPA TAHUN YANG LALU :.

"Jadi... balik ke kampung nih?"

"Iya."

"Ga akan pernah balik ke kota lagi?"

"Ga tahu lah, Ndes. Sepertinya nggak."

"Yaelah ga asyik banget, Nyuk."

"Habis gimana lagi."

Asap mengepul dari mulut terbuka Dani Kuncoro Hadi – biasa dipanggil DK atau Deka. Kepalanya disandarkan ke dinding. Matanya terpejam, menikmati rasa hangat di bibirnya yang meregang gurih sebatang sigaret. Deka membuka mata, menepuk rokoknya dengan santai dengan asbak seluas halaman rumah di samping sekolah.

Di belakang kantin sekolah SMA Cendikia Berbangsa ada tembok yang sangat mudah dipanjat karena tak begitu tinggi dan amat mepet dengan tembok kantin. Setelah memanjat tembok akan sampai di tangga beton melingkar yang sebenarnya milik bangunan di sebelah sekolah yang dihuni oleh pasangan suami istri yang sudah sepuh. Tangga itu menghubungkan lantai satu dan tempat menjemur pakaian di atas. Karena sudah sepuh, pasangan suami istri sepuh di bawah sudah tidak pernah lagi menggunakannya karena menaiki tangga yang memutar cukup melelahkan. Mereka juga sudah lelah memperingatkan anak-anak SMA CB untuk tidak nongkrong di atas. Biar sajalah asal tidak mengusik kehidupan mereka berdua.

Tanpa adanya perlawanan dan seakan dibebaskan, lokasi luas yang harusnya digunakan untuk menjemur pakaian beralih fungsi menjadi tempat nongkrong anak-anak sableng dari SMA CB. Tentu saja tempat itu menjadi tempat pelarian untuk merokok atau main kartu.

Kala itu hanya ada Deka dan Nanto di sana.

"Apa yang akan terjadi pada kita berlima?" tanya Deka lagi sambil mengelus rambutnya yang dipotong model undercut. Deka baru-baru ini saja mencukur rambutnya, biasanya ia tampil dengan model rambut gondrong tengah sisi dikerok. Untung aja wajahnya lumayan, jadi mau potong rambut gimanapun matching. Ia melirik ke arah sang teman.

Si bengal jongkok di atas pagar tembok dengan santainya, menatap ke arah jalanan dan sesekali terkekeh melihat cewek-cewek SMA CB yang sedang jajan di pinggir jalan digodain teman-temannya di bawah sana. Nanto tidak menolehkan kepala, tapi ia menjawab pertanyaan Deka dengan pertanyaan lain.

"Memangnya apa yang akan terjadi pada kita berlima?"

"Ga asyik ga ada kamu, Nyuk."

"Hahaha. Sejak kapan kamu cengeng begini, Ndes? Jijik aku deket-deket hombreng."

"Wasu." Deka tertawa. Tapi tak lama. Ia kembali terdiam, menyorongkan lengannya ke atas, menutup matahari dengan jari jemarinya. "Tahu ga, Nyuk? Jika jemari kita hilang satu, kita tidak akan bisa menggenggam tangan dengan sempurna, tak bisa membentuk kepalan."

"Kenapa tidak diganti saja? Tetap berlima. Tetap membentuk kepalan. Masih banyak orang lain yang bisa menggantikan, toh kelompok kita bukan kelompok yang permanen. Anak kelas atas banyak yang punya kemampuan juga. Koyo opo wae."

"Ga seru ga ada jempolnya."

"Ganti jempolnya. Kalian tidak butuh aku untuk meneruskan apa-apa."

Deka menggeleng. "Tidak ada yang sekuat kamu, Nyuk."

Nanto menghela napas. "Sebenarnya apa sih yang selama ini kita lakukan ini, Ndes? Mencari siapa yang terkuat? Mencari siapa yang terhebat? Menjadi yang paling di antara sekian? Atau sekedar ingin berbeda? Ingin berontak? Kalau berontak, kita sebenarnya berontak ke siapa? Untuk apa? Kita ini sok tahu tentang semuanya padahal belum tahu apa-apa, Ndes. Belum mengerti apa-apa. Kehidupan kita masih jauh terbentang ke depan dengan segala kemungkinan."

JalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang