Bagian 8 Sahabat

45 3 0
                                    

Setiap orang suci punya masa lalu,
dan setiap pendosa punya masa depan.
- Oscar Wilde


Nuke Kurniasih berdehem. Suaranya bagai tercekat hendak hilang, entah sudah berapa lama ia berbicara dengan volume suara tinggi. Ia harus terus menerus berteriak karena ributnya suasana sekitar. Hari sudah menjelang sore kala itu, para pedagang Pasar Besar sudah mengemas barang-barang dagangan. Sebagian disimpan di lemari-lemari kayu yang digembok, sebagian lagi dibawa pulang.

Gadis manis itu masih sibuk memastikan anak-anak yang sedang berkumpul di hadapannya mendapatkan snack dan minuman. Suaranya yang serak-serak basah makin terdengar bergerigi saat ia berteriak sekali lagi, mencoba mengalahkan suara mesin pemarut kelapa, deru knalpot motor, dan ributnya ibu-ibu pasar yang saling bercanda.

"Jangan lupa besok kumpul lagi yaaa. Kita belajar bareng lagi yaaaa."

"Iyaaaa..."

"Iyaa Kaak."

"Iya."

"Oke Kak."

Dengan senyum terkembang, Nuke menyalami satu persatu anak-anak jalanan yang tertawa riang. Kerumunan bocah itu lantas berjalan berpencar, kembali ke kehidupan mereka yang justru akan mengajarkan banyak sekali pahit getir dunia. Ada sedikit getar terasa di dada Nuke. Akankah kita akan berjumpa kembali esok hari?

Nuke membuka topinya, menyapu peluh di dahi dan duduk di tepi trotoar. Ia menggunakan topinya sebagai kipas.

"Huff. Panas banget ya." Kinan Larasati duduk di sebelah Nuke, ia menyodorkan sekotak minuman kemasan dingin.

"Makasih, Noy. Anak-anak sudah dapet semua kan?"

"Sudah. Semua sudah kebagian. Ada sisa sih."

"Sisa?" Nuke menusukkan sedotan yang ke lapisan perak di tutup kemasan. Ia menyeruput teh dingin yang menyegarkan. Rasanya? Bagai siraman hujan di lembah yang kering dan langsung membuat bunga-bunga bermekaran.

"Iya." Kinan mengangguk sedih, "ada beberapa anak yang tidak datang. Katanya mereka dibawa Bang Kojek sampai kawasan utara kota beberapa hari yang lalu. Tahu sendiri jaraknya sejauh apa. Belum ada yang pulang sampai hari ini."

Nuke menggemeretakkan gigi dengan geram. "Orang itu... memang... Huh!! Apa dia sudah hilang hati dan perasaannya sih? Sampai setega itu sama anak-anak!! Aku mesti protes ke Bang Gunar! Sudah terlalu banyak! Terlalu sering anak-anak menjadi korban! Gemes banget, Noy!"

"Iya sama, aku juga gemes banget. Tapi apa kita bisa menggerakkan hati Bang Gunar dan kawanannya ya, Nuk? Kamu tahu sendiri kalau dia sudah berkehendak, ga ada yang bisa ngelawan. Jangan-jangan Bang Kojek bawa anak-anak ngemis di utara disuruh sama Bang Gunar? Duh kasihan banget."

Nuke mengangguk. "Kita mesti bagaimana lagi ya, Noy? Kita begini aja, repotnya minta ampun. Mesti izin kesana-sini, belum waktu yang terbuang dua bulan karena harus meyakinkan Bang Gunar. Dua bulan, Noy! Pengen banget rasanya nyelametin anak-anak itu dari tangan kawanan preman-preman yang brengsek seperti Kojek."

"Kasihan anak-anak."

Nuke menghela napas. Saat melihat beberapa temannya mengemas buku bacaan, alat tulis, mainan, dan tas yang tadi digunakan anak-anak bermain dan belajar di bawah sebuah pohon rindang yang asri, si manis itu tersadar. "Eh, Fitria sama Ratri ga datang hari ini? Apa mereka sudah masuk kuliahnya?"

"Mereka... kayaknya ga bakal datang lagi, Nuk."

"Oh begitu."

Kinan tersenyum, ia mengelus punggung Nuke. Tidak banyak memang yang hatinya tergerak untuk memberikan ilmu dan waktu bagi anak-anak jalanan. Ia dan Nuke sudah melakukan segala upaya yang mereka bisa, berjuang sejak masih duduk di bangku SMA hingga sekarang saat keduanya menempuh bangku kuliah. Bersama dengan teman-teman lain yang peduli, Kinan dan Nuke mencoba berjuang demi masa depan anak-anak jalanan yang jauh dari kasih sayang orang tua.

JalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang