☘︎
Satu hal yang Jennie sadari begitu membuka mata adalah dirinya tak sedang terbaring di rerumputan taman yang kering dan terbakar sinar mentari dengan mengenaskan. Ranjang empuk dan ruangan berdominasi putih menjadi hal pertama yang dirinya lihat.
Jennie menyentuh pelipisnya, kepalanya masih sakit. Ia tak ingat apa yang terjadi sebelumnya. Saat itu sekelilingnya terasa berputar sebelum gelap menyapa.
Wanita itu beringsut duduk, mengerang pelan saat luka bekas cambukan di punggung tak sengaja tergesek kain bajunya yang kasar.
"Beristirahatlah lagi, kau belum pulih."
Refleks Jennie menoleh ke sumber suara, mendapati seorang wanita kisaran tiga puluhan menghampiri dan berdiri tepat di sisi ranjangnya. Menyodorkan segelas minuman hangat.
Setengah kikuk Jennie menerima uluran gelas teh tersebut. Berucap terima kasih dengan pelan.
"Kau terlihat sangat buruk." Wanita itu menceletuk, mengambil tempat untuk duduk di pinggiran ranjang. "Kau sudah merasa lebih baik? Saat memeriksamu tadi, aku terkejut menemukan banyak lebam biru dan luka hampir di sekujur tubuhmu."
Serta-merta mata Jennie melebar, spontan menyentuh badan-mengurungkan niat untuk menyeruput gelas minumnya. Sedang wanita di sebelahnya memerhatikan dalam diam. Menarik napas, lalu membenarkan letak duduknya.
"Maaf mengatakan ini, tapi apakah ... kau mengalami kekerasan?"
Hening.
Dalam gundahnya Jennie tertunduk bisu. Menggantung pertanyaan itu beberapa lama. Tanpa diketahui, netranya bergerak gelisah. Tubuhnya bergetar halus terbayang kejadian semalam.
Sang dokter menarik napas, memutuskan berdiri. Mengerti keadaan wanita itu sekarang dan tidak menuntut jawaban berlebih.
"Tak usah dipikirkan. Maafkan aku bertanya seperti itu padamu. Beristirahatlah lagi." Dia memasukkan kedua tangannya ke saku jas, menatap Jennie lurus. "Dan jikalau suatu hari nanti kau mencari tempat untuk menumpahkan seluruh emosimu, datanglah kemari. Aku menyediakan sesi konseling bagi mereka-mereka yang bermasalah."
Jennie masih menunduk memandang gelas tehnya. Selepas lengang satu menit, dirinya pun mengangguk pelan dan berucap lirih, "Terima kasih."
Dokter itu mengangguk dengan senyum. Mencoba membagikan aura positif dengan mengelus bahunya pelan. "Nah, Jennie, meski aku sudah mengobatimu, tetap pergilah ke rumah sakit. Tubuhmu terlampau lemah dan hidungmu sepertinya mengalami cidera. Obat-obatan di sini terbatas sehingga aku hanya bisa memberikan pengobatan seadanya."
"Dokter tahu namaku?" Jennie menyahut dengan wajah terlampau polos, membuat sang dokter tertawa. Lantas wanita itu mengulurkan tangannya untuk mengusap surai kecokelatan milik Jennie. "Tentu. Aku bertanya pada kekasihmu tadi."
"Kekasih?" Alis wanita itu terangkat. Sontak menoleh dengan mimik bertanya. "Pria yang membawamu kemari tadi. Dia kekasihmu, bukan?" Jennie mengerjap lamat-lamat kala mendengar penuturan sang dokter.
Siapa?
Sebelum dirinya sempat menebak, derit pintu masuk yang perlahan terbuka mengalihkan atensi keduanya. Pupil Jennie melebar, menangkap satu senyuman asimetris dari sosok pria yang ditemuinya terakhir kali.
"Ah, kau sudah kembali," Dokter itu menyapa ramah. "Kebetulan aku harus keluar sebentar setelah ini. Jika kalian masih ingin memakai ruangan ini, tidak masalah. Serahkan saja kunci ruangan kesehatan ini pada Profesor Ahn jika kalian sudah selesai."
Setelah melihat pria itu mengangguk, sejurus kemudian tungkai kaki dokter itu berjalan ke arah meja kerjanya, menarik tas tangan, lalu dengan cepat melambai pada mereka berdua. "Baiklah, aku tinggal dulu, Anak-anak. Dan kau Jennie, ingat pesanku tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Bad Time || TN
Fiksi Penggemar[M] Namanya Kim Taehyung, seorang petinju ulung dari Klub Bertarung Union. Punya latar belakang misterius dan jarang terjamah. Mulanya Jennie tak ingin terlibat lebih jauh dengan pria itu. Dia tidak mau lagi berurusan dengan para pria berengsek sepe...