TERAS DEPAN

26 2 0
                                        

Katanya segala sesuatu itu –terbentur dahulu lalu terbentuk--. Cukup lama aku memahami makna kalimat tersebut. Kalimat yang sering diucapkan ibu padaku putri bungsunya.

"tapi bu, mengapa harus demikian? Bukannya segala sesuatu itu sudah ada dalam ketetapan?"

"terbentur pun bagian dari ketetapan, kalau kamu menganggap bahwa terbentur adalah ketetapan yang buruk maka ubah mindset yang di dalam kepalamu itu. Semua ketetapan itu baik, tidak ada yang buruk"

Begitulah ibu selalu menasihatiku, semakin banyak hantaman dunia pada kita, semakin kita paham bagaimana memperlakukan dunia seharusnya. Yaaa, dunia ini hanyalah sementara, bukan tempat tinggal, bukan juga kampung halaman tempat kita pulang. Dunia tetaplah dunia.

"ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melaliakan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta membangga-banggakan tentang banyaknya harta dan anak. ....." (Q.S Alhadid : 20)

Duduk di depan rumah, masing-masing dari kami memegang gelas, gelas aku dan ayah berisikan kopi dan gelas ibu berisikan air hangat. Selalu saja ada topik yang kami bicarakan perihal hakikat kehidupan. Tentang perjalanan hidup ayah dan ibu yang penuh dengan hantaman, tantangan, juga benturan, hingga akhirnya Allaah Sang Khaliq mengizinkan ayah dan ibu merasakan kesenangan. Bukan untuk kompetensi kehidupan tapi untuk berlomba menghabiskan harta dalam hal kebaikan.

"tidak akan berkurang harta yang engkau habiskan dalam hal kebaikan"

"iya bu, tapi bu tidak sedikit orang yang lupa mengatakan terimakasih saat di tolong"

"biarlah mereka begitu, Allah yang Maha memberi rezeki tidak pernah tidur. Allah mengetahui apapun yang ada dalam hati manusia, kan Allah yang menciptakan kita dan seluruh alam semesta" Sahut ayah sambil menyeruput isi gelas miliknya.

"bagaimana jika nanti aku tidak hidup sesenang ibu ? maksudnya aku hidup miskin, begitu bu"

"rezeki itu bukan hanya diukur dari harta tapi memiliki pakaian yang bisa dipakai, bisa makan, bisa tidur dengan nyaman tanpa harus kebingungan saat kehujanan, itu juga sudah bagian dari rezeki. Yang perlu dirubah itu konsep bersyukurnya. Ibu juga dulu pernah merasakan demikian. Yang penting mau berdoa dan berusaha. Keduanya harus seimbang nak, tidak bisa hanya berdoa saja dan tidak pula hanya berusaha saja. Itu sama saja berjalan dengan satu kaki"

Begitulah ibuku, setiap apa yang keluar dari lisannya tidak lain berisi nasihat, begitupun dengan ayah. Ayah selalu mengingatkan bagaimana jika kita ingin diperlakukan baik dengan orang.

"ayah bukanlah lulusan dari universitas besar, tamat SMA juga nggak nak. Tapi satu kunci hidup ayah, harus jujur dengan siapapun dan dimanapun, tanpa terkecuali dengan diri sendiri."

"kenapa harus dengan diri sendiri yah ?"

"lah iyaaa, bagaimana bisa jujur dengan orang lain jika dengan diri sendiri saja masih sering bohong. Nanti kamu juga paham maksud perkataan ayah barusan"

Setiap kali selesai berkumpul dengan keduanya di depan rumah, di meja makan, atau di ruang tv. Rasanya aku tidak punya alasan untuk tidak bersyukur dan menyayangi keduanya. Rasanya aku kehabisan alasan untuk bermalas-malasan hanya mengharapkan belas kasihan dari mereka. Ahhh, tapi sayang. Tahun ini sudah tidak adalagi ritual duduk di depan rumah dan berkumpul di meja makan atau di ruang tv. Aku yang kini beranjak dewasa diperintahkan untuk hidup tanpa seorang ayah dan memulai cerita kehidupan sendiri. 

Ayah yang luarbiasa dalam hal apapun. Terimakasih ya untuk semua ilmu yang engkau ajarkan padaku, putri bungsumu. Semoga surga menjadi sebaik-baik tempat bertemu dan berkumpul. Semoga Allah izinkan aku untuk merawat ibu dan Kembali ke tanah kelahiranku.

30 Hari BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang