jangan sampai jatuh.

299 73 23
                                    

Suara air mengalir dari keran wastafel mengisi keheningan kamar mandi. Penyumbat lubang wastafel yang masih terpasang membuat air meluber dan mulai menggenangi lantai. Suhu air yang hangat membuat kaca di kamar mandi tersebut berembun, menghalangi pandangan seorang perempuan yang hampir setengah jam asyik memandangi dirinya sendiri.

Perempuan tersebut adalah Ariana. Tangannya perlahan naik dan mengusap embun pada cermin, menampilkan wajah tirus dan polosnya. Tidak puas sampai disana, ia mengusap seluruh bagian cermin hingga kini tampak tubuhnya dari kepala sampai pinggang. 

Ariana menatap tubuhnya dari atas hingga bawah. Memperhatikan setiap detail lekuk tubuhnya yang tidak tertutup benang sehelai pun. Ia baru saja mandi setelah latihan singkat sebelum pertandingannya dimulai sore ini. Ada suatu hal yang mengganggunya saat latihan tadi dan kini ia sedang mencari tahu penyebabnya.

Tangan Ariana mulai menyusuri tubuhnya, menyentuh perutnya yang berotot namun tidak terlalu berbentuk seperti dulu. Tulang rusuknya terlihat cukup jelas. Tulang selangkanya juga terlihat lebih dalam dari sebelumnya. Ia menghela napas panjang.

"Ini belum cukup," bisiknya pada diri sendiri lalu berputar-putar, mengamati tubuhnya. Ia menggigit bibirnya. Perasaan cemas tiba-tiba menyergap dirinya.

"Ariana, are you done yet?!"

Suara seorang perempuan yang sangat dikenalinya itu menyadarkan dirinya. Ia terkejut bukan main begitu mendapati lantai kamar mandi sudah banjir dengan air.

"Oh God," Ariana buru-buru mematikan keran dan membuka penyumbat air. Ia meraih handuk, melilitkannya pada tubuhnya dengan cepat lalu keluar dari kamar mandi. Ia berlari kecil menuju pintu kamar dan mengintip siapa yang barusan memanggilnya dari lubang intip pintu. 

"Evelina, is that you?" tanya Ariana memastikan penglihatannya.

"Yes, it's me. We will gather in the lobby in thirty minutes. You better hurry."

"Okay, thanks, Eve."

"Do you want me to help you?"

"No, I'm fine."

"Okay, I'll meet you at the lobby."

Waktunya hanya tersisa tiga puluh menit dan Ariana merasa panik seketika. Ia segera berlari ke dalam dan memakai pakaiannya yang sudah siapkan di atas kasur. Ia mengenakan cotton crotch tights-nya dengan cepat. Gerakannya tiba-tiba melambat ketika hendak mengenakan kostumnya.

Ariana memang sengaja memilih kostum yang tidak terlalu terbuka seperti biasanya. Namun, kostum tersebut memiliki potongan yang menampilkan bagian belakang tubuhnya dengan lebar. Ia pun melirik ke arah cermin dan mengamati punggungnya. Memastikan tidak ada bekas luka atau bahkan jerawat di sana. Tidak ada yang salah dengan punggungnya, tapi sayangnya ia tidak menyukai bagaimana punggungnya terlihat hari ini. Perasaan cemas yang tadi dirasakannya semakin meningkat.

"Ini belum cukup," bisiknya lagi pada dirinya sendiri. Namun karena diburu waktu, ia segera mengenakan kostum berwarna abu-abu tersebut dan melapisinya dengan jaket atletnya. Setelah mengenakan make-up dan menata rambutnya dengan cepat, ia bergegas menyambar koper kecil dan tas duffle-nya lalu pergi ke lobby hotel yang ditinggalinya selama seminggu terakhir. 

"Ariana! Sini cepetan!" panggil Kalila yang sudah berbaris dengan atlet-atlet lainnya. Disampingnya berdiri Evelina yang melambaikan tangannya agar Ariana cepat bergegas.

"Hey, what I miss?"

Evelina menggedikan bahunya. "Nothing. Just motivational speeches from Miss Orlova," ucap perempuan asli Rusia itu sambil terus memperhatikan pelatih mereka yang sedang berbicara.

The Warmest IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang