Malam itu hujan deras turun di daerah Jakarta Selatan. Air hujan yang mengalir turun dari atap membasahi motor-motor yang terparkir rapi di depan sebuah warung kopi. Beberapa orang yang tadi sedang asyik merokok sambil menikmati segelas kopi hitam kini berlarian keluar untuk menyelamatkan helm mereka dari kemungkinan berubah menjadi kolam renang.
Arsyad memperhatikan kedua temannya yang turut keluar untuk menyelamatkan helm mereka dari balik jendela warung. Air hujan yang turun deras sedikit membuat pandangannya terhalang, namun tidak menutupi betapa hebohnya Avisena dan Bagas di luar sana. Indra penciumannya yang sebelumnya mendeteksi aroma kopi susu kini digantikan dengan aroma petrichor. Sepertinya hujan akan awet sampai tengah malam nanti.
"Lang, basah helm gue," omel Avisena yang baru saja kembali masuk ke dalam warung dengan helm yang basah kuyup di tangan kirinya. Disusul oleh Gilang dengan cengiran khas tanpa dosanya. Hoodie kuning yang dipakainya terlihat sedikit basah dibagian kepala dan bahu.
"Kan gue udah bilang harusnya tadi dibawa masuk," ucap Arsyad lalu meminum kopi susunya.
Avisena masih bersungut-sungut sambil meletakkan helmnya di atas meja. "Harusnya nggak basah. Nih, kesenggol si Kampret. Gelinding helm gue tadi."
"Yah, kan nggak tau Vi. Lagi lo ngeparkir dempet amat sama motor gue," balas Gilang pada Avisena, berusaha membela diri.
Pemandangan yang sudah biasa bagi Arsyad untuk melihat Avisena dan Gilang adu mulut seperti sekarang. Kedua sahabatnya ini sudah ia kenal sejak mereka duduk di bangku taman sekolah dasar dan menurutnya kelakuan mereka tidak pernah berubah sampai sekarang. Gilang, si master mind dari semua kenakalan remaja yang mereka lakukan. Avisena, si pengikut yang nantinya akan melakukan penyimpangan dua kali lipat lebih parah dari yang diajarkan Gilang. Arsyad, si pengikut kedua yang bersifat aneh dan selalu apes terkena imbas perilaku keduanya. Lalu terakhir ada Josefine, satu-satunya perempuan yang menjadi penjaga kewarasan mereka dan juga anak dari pemilik warung kopi ini.
"Heh, lagi hujan tuh berdoa. Pusing gue liat lo lo orang kalo kemari bawel mulu. Heran gue Arsyad betah main sama kalian," tegur Josefine. Tangannya dengan cekatan merapihkan piring-piring bekas makan pengunjung warung lainnya.
"Gini nih kalau Mas Nadeem nggak diajak. Jo jadi emosian banget," ledek Gilang.
"Ih, nggak ya!" protes Josefine. Wajahnya tiba-tiba jadi sangat merah. Kelihatan jelas kalau ia malu. "Nggak usah bawa-bawa Mas Nadeem!"
"Nggik isih biwi-biwi Mis Nidiim," tiru Avisena dengan mulutnya yang dimanyunkan. Arsyad yang hanya memperhatikan saja kesal, apalagi dengan Josefine yang kini sudah mengangkat kotak tisu dan siap melemparkannya ke Avisena.
"Awas lo ya, Vi. Ntar adek lo suka sama cowok, gue sumpahin digantung seumur hidup!"
"Astagfirullah, mulut lo Jo. Amit-amit. Lagian adek gue sibuk. Adanya dia kali yang gantungin cowok. Nggak kaya lo digantungin berbulan-bulan."
Gerakan mulut Arsyad untuk menyeruput kopi susunya terhenti. Ada suatu hal dari ucapan Avisena barusan yang membuatnya tiba-tiba merasa tidak nyaman. Rasa terkejut dan penasaran membuatnya sedikit-sedikit melirik ke arah Avisena yang sedang menatap Josefine dengan sombong.
"Oh iya, ngomongin adek lo dia masuk final ya? Nama event-nya apa gue lupa?" tanya Gilang.
"Grand Prix. Tanggal tiga nanti pertandingan finalnya," jawab Avisena lalu menyendokan bubur kacang hijau ke mulutnya.
Josefine yang kelihatannya sudah tidak emosi menarik kursi dan duduk di hadapan ketiga sahabatnya. "Tadi siang ada beritanya juga di TV. Gue liat line up-nya serem-serem, loh. Ada siapa tuh yang andalannya Russia, si Katarina Petrova kalau nggak salah. Dan adek lo sejajar sama dia? Gila keren banget sih, Vi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Warmest Ice
FanfictionDunianya terasa sangat dingin, namun terasa paling hangat ketika ia berada di atas es. Sayangnya, ia tidak menyadari terlalu lama berada di atas es membuatnya membeku secara perlahan. Ini cerita Arsyad dan Ariana. 2021 jungri local fanfiction by yrr...