Jangan tanyakan kemampuan Gazriel beradaptasi di tempat Sadam selama ini. Dia sangat mudah menyesuaikan dirinya, menyiapkan barang barang yang dia butuhkan di kamarnya, dan segala hal lain yang berkaitan dengan hidupnya. Mulai dari kebutuhan makan, mandi, hingga sekolahnya, ia dengan mudah mulai menyesuaikan diri. Dia kerapkali mulai sering menggunakan transportasi online sendiri untuk pergi memenuhi kebutuhannya atau menggunakan damri, yang katanya untuk menghemat pengeluarannya. Meskipun Sadam paham betul, bahwa kedua orang tua Sadam tidak akan kekurangan untuk membiayai kebutuhan anak mereka satu satunya itu.
Namun Sadam pada akhirnya sangat bangga dengan banyak hal yang bisa dilakukan Gazriel selama di sini. Awalnya dia masih sering menawarkan bantuan, namun sedikit demi sedikit, Gazriel mulai melepaskan diri. Setelah dia tahu beberapa lokasi penting dimana ia bisa membeli kebutuhannya, Gazriel mulai mengandalkan dirinya sendiri.
Suatu hari, Sadam seusai pulang kerja menanyakan tentang hal ini pada Gazriel. "Lo ga ada kesulitan selama di sini, Zriel?"
"Santai lah, Bang. Gua bisa handle banyak hal."
"Aneh aja gitu, lo bisa mandiri secepat ini. Biasanya kan kalo di rumah, semua kebutuhan lo harusnya sih udah tersedia."
"Yaiya sih, Bang. Tapi kan Papa Mama gua juga seringnya ga ada di rumah. Gua ya sering inisiatif sendiri buat menuhin kebutuhan gua selama di rumah juga sih. Jadi ya ... kurang lebih emang udah 'kebiasa' aja gitu.
Dan lagi, tempat Abang ini bisa menjangkau banyak lokasi ya. Strategis banget gitu lho Bang. Gua jadi gampil kalo pengen ini itu. Ke sekolah juga ga terlalu jauh."
"Papa lo kayaknya udah memperhitungkan itu juga sih, Zriel. Jadi anggap aja ini jadi bagian pendewasaan diri lo pribadi, sama belajar kemandirian juga. Btw, ada yang lo butuhin lagi juga gak selain dari apa apa yang udah lo penuhin sendiri?"
"Mm ... apa ya? Sepertinya gua butuh motor sendiri sih Bang. Ya, gua tahu, gua bisa make transportasi online gitu. Atau naek damri, angkot, atau apalah. Tapi, kayak hambur-hamburin uang aja gitu. Terus macetnya itu, yang kadang bikin ga tahan kalau naek transportasi umum. Jarak deket aja, bisa nyampe satu jam perjalanan."
Sebenarnya Sadam juga setuju dengan apa yang dipikirkan Gazriel. Keputusan dia membeli motor dari tabungan yang sudah dia kumpulkan bahkan sejak kuliah, juga karena menilai, transportasi di Bandung masih belum 'tertib' untuk mengandalkan transportasi umum sebagai kendaraan untuk ke sana kemari. Dan lagi pula, tarif ojol kini makin tinggi saja. Dengan memperhitungkan situasi, naik motor sendiri setidaknya bisa memberi dua keuntungan: hemat waktu dan juga hemat uang. Tak ayal, saat Gazriel sudah terbiasa mengatasi segala sesuatunya sendiri, dia juga mulai terpikirkan opsi punya motor sendiri untuk menunjang kebutuhannya selama di sini.
"Udah coba diomongin sama Bang Raka? Maksud gue ... papa elo sendiri."
Sadam pun merespons keinginannya Gazriel yang satu itu.
"Belum sih," Gazriel menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sadam bisa melihat itu sebagai tanda minta tolong.
"Mau gue bantu ngomong?"
"Eh ... i, iya sih Bang, kalo ga keberatan."
"Gue telpon sekarang aja, gimana?"
"Kayaknya Papa udah balik kerja sih, Bang, kalo jam segini."
"Oke, gue telpon ya kalo gitu."
Sadam mengambil handphonenya dan mulai menghubungi Raka. Tak lama, teleponnya itu tersambung dengan Raka.
"Woy ... apa kabar lu Dam? Apa kabar juga anak gua di sana?"
"Sehat gue. Anak lo juga ini lagi di depan gue. Sehat sebadan badan. Lagi ngobrol nih kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjerat Keponakan
Cerita PendekSadam awalnya sama sekali tak kepikiran untuk berhubungan dengan lelaki manapun. Ia sudah menahan dirinya sejak kecil, dengan menyibukkan diri di berbagai kegiatan, termasuk rencana rencana hidupnya yang sudah ia tata sedemikian rupa. Dan ia sangat...