Part 16

1 0 0
                                    

Rabu pagi yang diawali dengan pelajaran sejarah, sangat cukup untuk mengheningkan suasana kelas yang biasanya sangat ramai ini.

Aku menguap sembari menatap ke arah Brian yang sedari tadi sibuk menggambar dan mencoret - coret buku sejarahnya miliknya itu.

Sejak kejadian divilla hari itu, aku sering mendapati bang Axel yang diam - diam memperhatikanku.

Dari cerita yang kudengar dari Nandhita dan Brian, saat mereka sedang mencariku ke sekeliling area villa ini, mereka tanpa sengaja melihat bang Axel yang berlari dengan tergesa - gesa dari arah hutan sambil menggendongku. Dan tanpa menunggu lama mereka segera menghampiri bang Axel yang kemudian menidurkanku di tanah. Setelah itu bang Axel segera menitipkanku kepada mereka dan melenggang pergi.

Awalnya aku tidak percaya dengan apa yang mereka katakan. Bagaimana aku dapat mempercayainya, mengingat perlakuan bang Axel kepadaku satu tahun terakhir ini. Akan tetapi, setelah melihat gerak - gerik bang Axel beberapa hari ini, aku sepertinya mulai mempercayai, bahwa apa yang mereka katakan memang benar adanya.

"Oiiiii, ngelamun terus mbak" Ujar Brian membuyarkan lamunanku. "Pinjem bolpen merah dongg, ada ngak?"

"Nih" Ujarku sambil memberikan bolpoinku kepadanya.

"Makasih syantik" Ujarnya sambil tersenyum menggoda kearahku.

Ku hanya menatapnya dengan geli.

"O iya, gue mau tanya dong." Ujarnya lagi sambil menatapku singkat ke arahku, kemudian lanjut mencoret - coret bukunya itu.

"Apaan?" Tanyaku sambil menopang daguku dengan satu tangan dan menoleh ke arahnya.

"Lo sama kak Axel kakak adik ya?" Tanyanya dengan santai, berbalikkan denganku yang seketika menegang mendengar pertanyaannya itu.

"Kenapa lo bisa mikir gitu?" Tanyaku berlagak pura - pura tidak tahu, untuk menutupi keterkejutanku tadi.

"Abisnya pas dia nolongin lo di villa hari itu mukanya keliatan khawatir banget sama lo."

"Cuma gara - gara itu? Kan bisa aja dia khawatir liat keadaan gue pas itu. Lagian pas kejadian hari itu lo emang ngak khawatir sama gue hmm?" Tanyaku sambil terus menatapnya.

Brian kemudian menoleh ke arahku, "Emmm iya juga sih, omongan lo ada benernya" Ujarnya sambil menopang dagunya dan mengangguk - anggukan kepalanya.

"Ya kann, mangkanya asal ngomong aja lo" Ujarku sedikit lega.

"Tapi-" Ucapannya terhenti sesaat, kemudian menatap wajahku dengan serius. "Kok lo ngak nyangkal sih pas gue bilang dia kakak lo? Kalo emang bukan kan seharusnya lo langsung bilang aja bukan. Apa jangan - jangan omongan gue bener?" Terkanya yang lagi - lagi membuatku tak berkutik selama beberapa saat.

Skakmat Alysson. Batinku yang bingung harus menjawab apa sekarang.

Aku menghela nafas sejenak, kemudian mendekatkan wajahku kepadanya, "Bercanda lo?" Tanyaku sambil menaikkan sebelah alisku, berusaha untuk terlihat santai.

Plis pliss jangan sampe Brian curiga.

Brian terlihat sedikit terkejut dengan sikapku,"Iya ya, ngak mungkin ya kalian kakak adek" Ujarnya kemudian sambil memundurkan kepalaku dengan telunjuknya. "Abisnya muka lo berdua diliat - liat mirip sih, apalagi tadi lo ngak nyangkal pertanyaann gue, bikin curiga aja." Ujarnya lagi.

"Ya kan gue mau tau dulu apa alasan lo, bisa - bisanya mikir gue kakak adik an sama siapa tuh tadi namanya-" Ujarku pura - pura tidak mengingat nama abangku sendiri. "Axel" Jawab Brian melanjutkan perkataanku.

"Nah iya kak Axel" Ujarku lagi setenang mungkin.

Sorry banget Brian gue terpaksa bohong sama lo. Akan ada saatnya lo tau nanti. Batinku.

AlyssonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang