Part 6 "Cerita dibalik Senja"

21 4 12
                                    

Langkah demi langkah Angkasa kini terdengar jelas. Semburat tawa pun kini telah menghiasi wajahnya yang sekian lama dirundung sendu. Angkasa yang dahulu dirundung sendu, kini ia sudah bisa tertawa dengan lepas.

"Assalamualaikum, bu ...." ujar Angkasa ketika telah memasuki rumah. Namun ia tak mendapati seorang pun.

Kaki Angkasa kini sibuk menyusuri setiap sudut rumah. Mencari-cari penghuni rumah yang hilang tanpa bekas. Hatinya sangat gelisah, ketika ia menemui ibunya tengah di ikat di sudut ruang dapur. Tak lupa kain yang digunakan untuk menyumpal mulut sang ibunda.

"Ibu!" Terlihat Angkasa yang mulai bergegas menghampiri sang ibu. Perlahan ia buka ikatan demi ikatan yang sedari tadi melilit ibunya.

"Ibu kok bisa di iket?" tanya Angkasa yang masih sibuk membuka ikatan pada tubuh ibunya.

"Udah cepetan buka! Ibu udah ga kuat," lirih sang ibu ketika kain penyumpal telah berhasil di buka.

"Ibu di siksa lagi sama ayah?"

"Iya! Dan ini semua, gara-gara kamu Sa!" pekik sang ibu sembari perlahan-lahan bangkit.

"Loh, kok aku?" tanya Angkasa sembari ikut bangkit.

"Iya, gara-gara kamu lahir ke bumi ini, ayah kamu jadi berubah. Dia jadi orang yang arogan. Kamu anak pembawa sial Sa, pembawa sial!" gertak sang ibu sembari menatap Angkasa tajam.

"Bu, kalo emang misalnya Angkasa ini anak pembawa sial, kenapa ibu ngelahirin Angkasa ke bumi ini? Kenapa bu? Kenapa? Angkasa juga ga pernah minta buat di lahirin ke bumi. Angkasa cuman titipan bu," lirih Angkasa yang tak sadar meneteskan air mata.

"Angkasa juga ga pernah tuh, ngerasain bahagia kayak anak yang lain. Angkasa ga pernah dapet kasih sayang dari ibu sama ayah. Ga pernah bu, ga pernah. Angkasa tau, Angkasa pembawa sial, makannya Angkasa ga pernah minta-minta ke ibu. Angkasa cuman mau kayak anak-anak yang lain bu, Angkasa cuman mau bahagia!"

Ya, tidak ada anak yang minta untuk dilahirkan ke bumi ini. Tidak ada! Anak-anak hanyalah sebuah anugrah. Anak merupakan titipan sang pencipta. Kewajiban kedua orang tua merupakan bertanggung jawab, dan menjaga titipan tersebut.

Angkasa merupakan anak tegar, anak yang tak pernah mau mengeluh ataa semua ini. Anak tak bersalah yang berasal dari sang maha pemilik segalanya. Angkasa dan anak-anak lain adalah titipan, yang kelak akan di bawa pulang oleh sang pemilik.

"Yah, bu, aku ga pernah mau di lahirin ke sini, aku itu cuman titipan. Aku hanya minta kasih sayang dari ayah dan ibu. Hati ini sakit banget bu, ketika mendengar kata-kata itu. Angkasa ga pernah kepikiran, kalo ibu bakalan ngeluarin kata-kata itu. Kalo emang misalnya datangnya Angkasa cuman bawa luka, kenapa dari dulu kalian ga balikin Angkasa ke sang pencipta, kenapa bu?" lirih hati Angkasa yang telah berada didalam kamarnya. Jeritan-demi jeritan kini sudah tak bisa di tahan lagi.

Kesedihan Angkasa kini benar-benar sudah tidak bisa ditahan. Air mata nya yang telah lama ia tampung pun, kini mengalir deras membasahi wajah Angkasa. "Aku ga mau bu di lahirin kesini, kalo boleh milih, Angkasa ga mau lahir ke bumi. Ibu sama ayah ga pernah mikirin perasaan aku. Ayah sama ibu ga pernah ngasih aku kasih sayang. Kalian juga sering banding-bandingin aku sama anak tetangga."

Angkasa mulai bangkit dari persinggahannya. Perlahan ia melangkah menuju kasur. Dan sesaat ia mulai merebahkan badannya. Menatapi nasib nya yang terus saja di rundung sendu. Di dalam kamar ini,
Angkasa sering kali menguraikan air mata. Meratapi keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.

Kesedihan ini kini kian menggema
Kala tawa pernah hadir walau sementara
Kekecewaan kian membekas pada atma
Meratapi nasib yang kian merana

Air mata ini kini mulai menyapa
Memisahkanku dengan tawa
Tentang kejamnya kehidupan
Yang terus menceritakan tentang kesedihan

Senja menjadi saksi
Tentang jatuhnya air mata ini
Semua terjadi
Tanpa kata tapi dan nanti

Kamar, di atas kasur

Pena kini mulai ia ajak untuk menari. Mencurahkan segala beban hidup yang sudah tak tahan ia pendam. "Kenapa? Kenapa gue ga bisa bahagia kayak orang lain?" lirih Angkasa dengan air matanya.

"Plis lah, gue juga mau bahagia. Gue mau kayak yang lain. Kenapa cuman gue yang merasakan kesedihan ini? Terus, kenapa harus sekarang gue ngalaminnya? Kenapa pas saat-saat gue merasakan kebahagiaan?"

"Bu, yah, Angkasa bukan anak pembawa sial, Angkasa butuh kalian. Angkasa mau kalian akur."

"Atau, gue ..." ucapan Angkasa terhenti, ketika ia memikirkan hal yang sepatutnya tak ia pikirkan.

"Ok fix. Gue harus ngelakuin ini! Gue udah ga kuat lagi sama sandiwara ini." Angkasa mulai melangkahkan kaki menuju tempat, dimana ada barang yang harus ia ambil.

Langkah kakinya kini terlihat sangat yakin. Tangannya sudah mulai menggenggam alat yang ia butuhkan. Derai air matanya kini sudah mulai mereda. "Yuk bisa yuk!" ujar Angkasa sembari menghela nafas. Kini langkah kakinya mengajak Angkasa pergi ke teras kamarnya. Tempat di mana ia dapat melihat dunia dari depan kamarnya yang berada di lantai dua.

Sesekali Angkasa menghela nafasnya. Menatap yakin pada langit senja. Tatapannya seolah mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang semakin lama semakin membuatnya terlena.

"Ok, gue bakal lakuin ini, ...."

"Angkasa!" teriak seseorang dari bawah yang melihat aksinya.

Dan ....

To be continue

The Secret Angkasa [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang