Part 3 "Tawa di Sejuta Luka"

19 9 7
                                    

"Mampus deh gue. Kira-kira si Gavin denger ga ya tadi?" gumam Angkasa ketika ia tahu, Gavin adalah orang yang memanggil nama nya tadi.

"Sa?"

"H-hah, a-ada Vin?" ucap Angkasa terbata-bata

"Lu kenapa? Aneh banget," ujar Gavin yang merasa curiga dengan teman nya

Ya, begitulah Angkasa, berpura-pura bersikap tegar di depan teman-teman nya. Meyakinkan mereka, bahwa ia sedang baik-baik saja. Berat? Pasti! Karna melakukan hal ini butuh kekuatan yang ekstra. Tidak semua manusia bisa melakukan nya.

"Apaan si lu, gue kaga ngapa-ngapa juga" ujar Angkasa seraya keluar dari toilet

"Lu abis ngapain?" ucap Gavin sembari melirik ke dalam toilet

"Dagang! Yakali harus gue jelasin gue abis ngapain,"

"Ya elah, gue cuman nanya doang juga,"

"Ya, lagian pertanyaan lu itu ga bermutu! Tau ga Vin?" ucap Angkasa yang mulai pergi meninggalkan Gavin

"Upil dajal kalo di kasih nyawa gini nih," lirih Gavin yang mulai mengejar ketertinggalan nya.

Sekolah ini merupakan saksi tentang salah satu diantara beribu cerita luka dari Angkasa. Cerita tentang seorang pemuda paruh baya yang sudah lama tidak bertemu dengan kata bahagia.

Luka dan air mata merupakan sahabat sejati nya. Di setiap inci tanah yang ia tapaki, memiliki kisah nya tersendiri. Setiap langit yang ia junjung, menjadi saksi tentang hati yang terus saja di sakiti.

"Sa, lu abis dari mana?" ucap Mentari ketika Angkasa telah tiba di kelas

"Noh, gue abis dagang di toilet sekolah," ucap Angkasa dengan tawa di muka nya

"Hah? Sejak kapan toilet sekolah jadi kantin?"

"Au dah, tanya ajah noh sama si Gavin." Angkasa menunjuk Gavin dengan kedua bola mata nya, ketika ia sudah berada di persinggahan

"Vin, emang toilet kita jadi kantin? Sejak kapan? Kok gue ga tau?" ujar Mentari

"Hah?"

"Itu, kata si Angkasa dia abis dagang di toilet. Sejak kapan toilet kita jadi kantin?" ujar Mentari meminta kepastian

"Jan ngadi-ngadi dah Tar, Angkasa lu dengerin. Otak dia tuh udah gesrek tau ga, lu jan nambah beban gue dah," ujar Gavin seraya duduk di persinggahan nya.

"Ya elah, sensi amat lu, orang gue cuman nanya juga," ujar Mentari seraya membalikkan badan nya. "Emang kenapa sih?" sambung nya ketika mereka benar-benar sudah berhadapan.

Gavin merasa jengkel dengan pola pikir kedua teman nya itu. Entah kenapa, pola pikir mereka begitu dangkal. Angkasa. Ya, celetuk nya itu seolah tak pernah ia pikirkan. Ketus demi ketus ia lontarkan tanpa di pikurkan. Mentari. Pertanyaan nya selalu berhasil membuat Gavin dan Angkasa terbawa emosi. Tapi, pertanyaan receh nya itu bin unfaedah selalu berhasil membuat mereka tertawa lepas.

Gavin sedikit merasa jengkel kepada mereka. Bagaimana tidak, dia hanya memiliki dua orang sahabat, tapi mereka sama-sama gesrek. Yang di setiap saat menguji kesabaran nya itu.

"Eh, gue pengen nanya dong," ujar Mentari mengalihkan topik

"Paan?" balas Gavin yang tengah sibuk menyenderkan badan nya pada kursi

"Kalo misalnya cowo cool, sama cewe hot nikah, anak nya bakalan jadi dispenser ya?"

Gavin terdiam sejenak, begitu pun dengan Angkasa. Entah apa yang ada di pikiran Mentari saat ini. "Iya, mereka melahirkan dispenser. Trus, kalo cowo playboy, sama cewe playgirls, anak nya bakalan jadi playstore. Nah kalo anak nya kembar, bakalan jadi playground. Puas lo?!"

The Secret Angkasa [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang