Tak dikenal

18 0 0
                                    

"Ya, daftarkan aku di hari Jum'at..."
Aku mengusap hidungku, sesekali memasukkan tissue dan menekannya kuat.
"Ya, Jum'at.. kau bisa konfirmasikan ke nomor ini, ini nomor pribadiku... terimakasih"
Aku mengakhiri panggilan, duduk di kursi bar dapur, dan menghabiskan sarapanku. Masih agak linglung dan lemas, aku menyingkirkan tumpukan tissue dengan rona merah darah yang memudar ke sisi kananku. Lily mungkin benar, aku harus mengambil cuti untuk benar-benar pulih. Atau setidaknya hingga terapi-ku bekerja. Kita lihat saja nanti. Lalu ponsel ku berdering. Aku nyengir lebar menyadari siapa yang menghubungiku pagi-pagi.

"Hai baby" sapaku girang, "apa kabar pagi ini?"
"Haloo... wahh, tiba-tiba aku yakin seharian ini hariku bakalan bagus" Riley tertawa, "sudah sarapan? Tidur mu nyenyak?"
"Nyenyak," aku berbohong, "ini sedang menghabiskan sarapanku" aku mengaduk-aduk granola di mangkuk ku.
"Syukurlah... aku ada meeting di jam 10.30. Wish me luck. Jika ini sukses, lusa aku sudah bisa pulang"
"Jangan khawatir, sayang. Meeting mu pasti akan lancar seperti biasanya"
"Mau oleh-oleh apa?"
Pikiranku berkelana. Dari semua hal didunia ini, aku lebih menginginkan Riley berada didekatku ketimbang yang lainnya. Kemudian aku mendengar suara nyonya Maria memanggil Riley di belakangnya.
"Ibu mu memanggil" sahutku.
"Ya, kau ingin apa, baby?"
"Aku tak ingin apa-apa... Kau pulang dengan sehat saja sudah cukup"
Riley terkikik, "oke.. tunggu aku dua hari lagi, kalau begitu. Love you"
Aku mengakhiri panggilan.

Sebuah pesta kembang api kecil meledak di dalam diriku, merayakan kabar suamiku yang akhirnya akan pulang dua hari lagi. Aku senang sekali mendengarnya. Aku duduk di sofa dan menyandarkan punggung disana. Sambil meraih jurnal mimpi di atas meja, aku menatap plafon. Potongan-potongan kristal dari lampu gantung di atasku terayun kesana kemari oleh semilir angin yang keluar masuk dari pintu balkon yang terbuka lebar. Pucuk pohon pinus bergoyang ke kiri dan kanan dengan sangat anggun. Aku menyesap jus campuran pisang dan beri beku dengan enggan. Sejak mulai bermimpi aneh, aku merasa tubuhku membutuhkan banyak nutrisi. Pagi ini rasa letih dan mimisan, besok entah apa. Ini gila. Aku sampai merasakan ngilu diseluruh persendian. Kondisiku bisa memburuk jika terus seperti ini. Aku butuh pertolongan, dan aku berharap banyak pada dr. Eva Braun di hari Jum'at.

Aku bukan tipe orang yang terlalu berkutat pada satu hal secara terus-menerus, apalagi untuk sesuatu yang diluar nalar. Namun bermimpi sudah menjadi momok bagiku semenjak beberapa minggu yang lalu. Aku jadi takut tidur. Alih-alih tidur nyenyak, tidurku malah membuatku letih. Setiap kali terbangun energi ku terkuras dan hidungku selalu berdarah sehingga aku bisa mencium bau seperti besi walaupun tidak sedang mimisan.

Mimpi buruk pertamaku dimulai waktu Pruvia di hantam badai. Aku berbaring di kamar usai mandi dan merasa letih yang amat sangat. Seharian aku melakukan operasi minor, dan entah kenapa hari itu pasien yang kutangani bukanlah pasien dengan keluhan biasa. Aku tertidur dengan cepat.

Mimpiku saat itu adalah terbangun di tengah padang rumput yang ditumbuhi bunga Forget-Me-Not yang menghampar luas. Langitnya berwarna biru kemerahan seperti semburat cahaya matahari yang akan tenggelam di ufuk barat. Saat itu, yang bisa kulakukan hanyalah memandang sekeliling menemukan sesuatu selain hamparan bunga. Kemanapun aku pergi, yang kutemukan hanya bunga; ironisnya, aku bahkan tidak suka bunga.

Setelah beberapa waktu berjalan, aku menemukan pondok kecil di ujung jalan setapak. Rasa haus yang membara membuatku bergegas menuju kesana, telapak kakiku yang semula perih karena berjalan tanpa alas kaki seketika mati rasa, terkalahkan oleh rasa kering kerontang ditenggorokanku. Namun anehnya, betapapun aku berlari kesana, rasanya tak pernah sampai.

Alih-alih berlari untuk mencapai pondok, aku malah sampai ke pinggiran sungai dengan tiba-tiba. Tanah yang kupijak basah dan aroma lembab memenuhi hidung. Aku bersimpuh di pinggiran bebatuan, menadahkan kedua tanganku dan mengisinya dengan air. Saat mendekatkan air ke bibirku, seseorang berbisik 'jangan' di telingaku, air yang kutampung jatuh kembali dan akupun terduduk ditanah karena kaget. Satu hal yang kutahu adalah, tak ada bayangan diriku dipermukaan air, dan entah darimana menumbuhkan sesuatu yang membuatku berpikir di bahwa semua yang terjadi hanyalah mimpi. Aku berlari menjauh dari aliran air yang tak memantulkan bayanganku sejauh mungkin, kengerian mengejarku seolah bisa membunuhku kapan saja. Namun disaat aku lelah berlari, aku terjatuh dari tebing curam yang sangat tinggi kembali ke tempat tidurku yang empuk dengan nafas terengah dan haus yang luar biasa.

Penjelajah MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang