Aku pikir aku akan mati.
Tapi ternyata tidak. Ranjang ini, piyama yang ku kenakan, lampu kristal gantung , dan aroma tumis daging asap yang menusuk hidungku membuktikan bahwa aku baik-baik saja. Aku sudah kembali ke kamar, ketakutan, dan menggumamkan sesuatu yang bahkan aku sendiri tak mengerti. Tanganku meraba kepala, wajah, leher, dada, perut, dan setiap bagian dari tubuhku untuk memastikan bahwa keadaan memang baik-baik saja.
"Dok?"
Lilly memanggil dari balik pintu kamar yang setengah terbuka. Ia menghampiriku masuk dengan cepat.
"Bagaimana keadaanmu dok? Apa yang anda rasakan?"
Aku bergumam lagi. Mencoba mengatakan aku baik-baik saja namun tak ada yang keluar.
"Anda ingat saat tadi menelepon saya? Anda menjerit. Saya langsung menyetir kesini setelahnya," Lilly menerangkan sambil menumpuk beberapa bantal dibelakang punggungku agar aku dapat duduk bersandar dengan nyaman.
"Aku menelponmu, Lil?" Aku terheran. Pertanyaan yang sama juga bergema di kepalaku.
"Ya, dok. Awalnya hanya dering pendek sehingga saya tak sempat menjawab. Namun dering kedua lumayan Panjang, saya mendengar suara keras saat menjawabnya. Sepertinya anda menjerit, setelah itu anda diam. Saya langsung kesini secepat mungkin karena berpikir ada yang tidak beres. Saya menemukan anda tak sadarkan diri di ruang TV dengan posisi menelungkup sambil memegang ponsel" jelasnya panjang lebar.
Aku memeluk Lilly. Dengan canggung Lilly balas memelukku dan menepuk punggungku dengan lembut.
"Oh Lilly, aku yakin tadi aku tertidur" ujarku menahan kegetiran di dalam suaraku. Aku ingin menangis, namun aku tak pernah menangis di depan siapapun. Lilly mengusap punggungku kali ini, antara canggung dan penuh tanda tanya mengapa 'tertidur' bisa membuat seseorang jadi linglung dan menjerit di panggilan telepon.
"Err –dok, pakaian anda basah. Sebaiknya anda berganti sekarang agar tak masuk angin" ujarnya.
Aku melepaskan Lilly dan memang benar, piyamaku cukup basah. Mimpiku cukup aneh dan mengerikan sampai membuat bajuku basah oleh keringat seperti ini, Lilly membantuku bangkit dan berjalan hingga ke depan lemari.
"Bantu aku sedikit, Lil" ujarku. Seketika tanganku kaku dan kesulitan saat hendak melepas piyamaku"
Lilly dengan sigap membantu.
"Ya Tuhan..." Lilly terkesiap di belakangku.
"Ada apa" tanyaku.
"Memar, dok" ujar Lilly singkat, "anda yakin tidak apa-apa?"
Ia berjalan ke meja rias dan mengambil cermin dari sana, mengarahkannya ke punggungku agar terpantul ke standing mirror di depanku.
Aku menganga. Ada bercak kebiruan di beberapa bagian punggungku. Bukan hanya di punggung, di lengan atas hingga siku kedua tanganku juga ada. Lilly mencoba menyentuh salah satunya di punggungku.
"Ah!" aku mengerang.
"Maaf dok!"
Ini sakit. Bahkan saat tak disentuh pun aku bisa merasakan sakit disana sini dan rasanya tubuhku sangat ringkih. Salah satu tanganku kaku seperti mati rasa, Lilly membantuku berpakaian dengan cepat. Ia bersikeras untuk membawaku kerumah sakit, dan kecewa karena aku menolak dan lebih memilih untuk tetap dirumah. Aku memintanya menceritakan dengan detil panggilan telepon dariku yang membuatnya datang kesini dengan cepat sambil melahap tumis daging buatannya. Ini enak, dan membuat perutku hangat. Dari ceritanya ia cukup yakin bahwa suara keras yang ia dengar selain jeritanku adalah suara dua buah besi besar yang saling hantam. Kemudian suara jeritanku sesudahnya, suara berisik dan kemudian diam untuk beberapa waktu.
Aku tertegun, lalu dengan sopan memintanya untuk pulang karena aku butuh waktu untuk berpikir. Dengan enggan dan raut wajah khawatir, Lilly pulang setelah membuatkanku makan malam dan membuatku berjanji untuk menghubunginya kapanpun aku membutuhkan bantuan.
Aku duduk di sofa ruang TV, tempat terakhir kalinya aku duduk setelah membuka jurnal mimpi. Disitulah aku tertidur, karena kenyataannya aku tak pernah mandi dan berganti pakaian, atau bahkan jalan kaki ke Café atau menyetir menghindari seseorang. Aku meraba lenganku yang sakit. Aku masih bisa mengingat pria yang duduk didalam Peugeot biru dan mengejarku sepanjang jalan. Saat itu hujan dan aku berusaha menghubungi suamiku.
Aku mengecek ponsel, memang benar ada nama Lilly di panggilan keluar sebanyak dua kali. Jika aku tertidur, tak mungkin aku menelepon Lilly. Jika aku menelpon Lilly, lantas suara hantaman apa yang ia dengar? Lalu suara jeritan ku? Aku yang gila, atau kenyataan yang memang gila? Dengan enggan aku tetap menuliskan semua kejadian yang kuingat kedalam jurnal mimpi, dan menyelesaikannya tepat di pukul 22.00 lalu naik ke ranjangku yang dingin.
Angin kencang dan dahan pohon mengetuk-ngetuk jendelaku ketika Riley menelepon, suaranya benar-benar membuatku senang dan lupa sesaat tentang semua yang terjadi hari ini. Ia mengabari penerbangannya kembali ke Pruvia besok siang. Hatiku bersorak girang tak sabaran menunggu hari esok. Semuanya terasa sempurna; janji temu dengan dr. Braun di pagi hari, dan kepulangan suamiku siangnya. Aku menepuk-nepuk bantalku, meneteskan minyak aromatherapy vanilla di humidifierku, lalu bersiap tidur. Aku berdoa dengan keras di dalam hatiku, memohon dengan sangat untuk tidak kembali kedalam mimpi yang mengerikan malam ini. Ya, setidaknya malam ini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penjelajah Mimpi
FantasyMimpi adalah hal paling kejam yang pernah terjadi di hidupku; Disaat aku mampu melihat dan mendengarmu dengan jelas saat mataku tertutup, inderaku melemah saat mataku terbuka. Lalu entah sampai kapan aku mampu berkelana dalam keletihan tak berujung...