Lamaran

8 0 0
                                    

Bab 2
Lamaran

Benda di pergelangan tangan menunjukkan pukul 16.40. Aku dan Sherly berkeliling di lantai dasar mall ini, sambil sesekali melihat ke arah depan toko perhiasan dekat pintu masuk. Namun, Arkan belum juga menampakkan batang hidungnya. Mulai bosan, akhirnya aku putuskan untuk menunggu di depan toko perhiasan.

"Kita tunggu di sini aja, ya," pintaku pada Sherly.

"Ok, aku ikut aja. Eh, Ri, mending kita lihat-lihat aja dulu, cincinnya."

Benar juga apa kata Sherly, sambil menunggu Arkan yang katanya sekitar lima menit lagi sampai. Aku mulai menyusuri etalase emas toko ini. Sebenarnya aku tidak begitu menyukai perhiasan, apa pun itu. Melihat emas berjejer di depan mata, tak ada ketertarikan sama sekali. Kalau disuruh memilih, pasti aku tak bisa menentukan pilihan. Semua tampak cantik mengkilap.

"Ri, lihat deh yang paling atas, ke-dua dari ujung kanan, itu cocok untuk kamu," ujar Sherly, jarinya menunjuk ke arah pojok etalase.

"Iya, ya. Aku mah nggak bisa milih, terserah Arkan aja, yang penting ukurannya pas."

"Ish kamu mah, udah yang itu aja, simple tapi manis. Cocok melingkar di jari kamu."

Untuk urusan ini, aku serahkan pada Sherly dan Arkan. Aku terima beres saja, lain hal kalau aku menyukai perhiasan. Pasti sudah kupilih sesuai seleraku. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang dari belakang.

"Riri, Sherly, maaf, ya nunggu lama." Arkan datang dengan rambut yang sedikit berantakan, anak poninya berjejer tak beraturan di keningnya. Mungkin ia tak sempat merapikannya karena terburu-buru. Wajahnya basah dengan keringat, terlihat ... maskulin. Uhhh. Merasa diperhatikan, ia langsung menunduk.

"Gak pa-pa kok, Riri jadi bisa lihat-lihat dulu, mana yang mau dipilih," sahut Sherly.

"Oh, ya? Kamu pilih yang mana, Ri?" Arkan bertanya, matanya menyusuri barisan cincin dalam kaca.

"Yang ke-dua dari pojok kanan atas," jawab Sherly bersemangat.

Sebenarnya yang mau lamaran siapa sih? Emang dasar Sherly, hufftt. Tak salah aku mengajaknya, dia paling mengerti sahabatnya ini.

"Benar, yang itu?" tanya Arkan meyakinkan.

"Iya, cincinnya simpel, aku suka." Terpaksa aku berbohong, demi menjaga perasaan Arkan. Bukankah menyenangkan orang lain itu berpahala?

Arkan meminta pegawai toko mengambil cincin yang kupilih untuk mencobanya. Pegawai itu memberikan cincin padaku, lalu aku pakai di jari manis sebelah kiri. Ukurannya pas sekali. Pilihan Sherly memang pas. Akhirnya cincin itulah yang dibeli Arkan.
Setelah membayar dengan sejumlah uang, Arkan mengajak aku dan Sherly ke food court. Dengan halus, aku menolaknya. Aku bilang padanya kalau tadi kerjaan di kantor sangat banyak , aku lelah dan ingin cepat pulang.

*

Dua minggu berlalu, hari yang dinanti telah tiba. Aku menatap pantulan wajah di cermin. Riasan tipis yang sangat sederhana tetapi tampak memesona. Ya, aku jarang sekali berhias. Kata Mama, wanita yang biasa polos tanpa make up, wajahnya akan terlihat pangling. Gamis brokat dipadu dengan jilbab crepe diamond. Warna pastel mendominasi pakaian dan hiasan ornamen di dinding ruang tamu.

Aku tetap menunggu di dalam kamar, sebelum acara penyerahan cincin. Dari dalam terdengar suara perwakilan keluarga Arkan. Adik dari papanya Arkan yang memperkenalkan dirinya itu, menjelaskan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah ini. Acara berlanjut perkenalan dengan masing-masing anggota keluarga.

Kini, tiba di acara inti, yaitu pemberian cincin. Aku keluar kamar, menuju ruang tamu. Dalam sekian detik, semua mata tertuju padaku, tak terkecuali Arkan. Ia terlihat takjub, mungkinkah ia terpesona? Penampilan Arkan tak ada yang istimewa, sama seperti biasa. Hanya saja wajahnya memancarkan aura kebahagiaan. Ya, akhirnya aku berhasil membuatnya tersenyum. Andai aku bisa mengabadikan momen langka tadi, hihii.

I Love You, My TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang