2

141K 18.9K 3.9K
                                    

"Nih seblak!" Alvin menyodorkan tas plastik yang dibawanya pada Nadia yang sedang duduk seorang diri di taman kampus.

"Gue juga tau itu seblak, siapa yang bilang combro?" Nadia menjawab dengan kesal, tanpa menoleh pada Alvin.

"Terima." Alvin mengayunkan tas plastik yang dibawanya. Nadia menerimanya dengan malas. Kalau Mega melihatnya pasti dia berkata, sudah kuduga ....

"Lo mau ngerayu gue pakai ini lagi? Nggak kreatif amat, sih?" Nadia mengintip isi tas plastik itu, super pedas, masih hangat lagi. Perutnya mendadak lapar.

"Males mikir." Alvin berujar sambil menyunggar rambutnya menggunakan jari, mengambil duduk di samping Nadia.

"Seblaknya gue terima, permintaan maaf lo nggak gue terima." Nadia menjawab dengan nada jutek. Tatapannya masih ke arah buku, sedang pikirannya entah travelling kemana.

"Gue 'kan emang nggak minta maaf." Alvin berkata dengan santainya, wajahnya tampak tak berdosa sama sekali. Ingin sekali Nadia mencakar wajah tampan itu.

"Lo tau nggak sesuatu yang bikin gue kesel? Pingin gue bejek-bejek. Udah jelek, idup lagi?"

Alvin mengerutkan dahi, "Moci?"

"Itu lo, pea!" kata Nadia kesal.

"Gue, ya? Seseorang kali, bukan sesuatu." Alvin menggaruk rambutnya sambil cengengesan.

"Serah!" Nadia membalikkan tubuhnya, sengaja membelakangi Alvin.

"Lo kenapa, sih? Uring-uringan mulu? Udah dibeliin seblak juga." Alvin merebut buku yang dibaca Nadia dan membuangnya ke sembarang arah.

Alvin jadi curiga. Biasanya Nadia gampang sekali dibujuk. Cuma diberi seblak nanti juga sembuh sendiri.

"Lo itu nggak ngerasa bersalah sama sekali, ya? Emang lo tuh cowok paling nggak peka se-jabodetabek." Nadia kesal dan memungut bukunya, itu buku perpus main buang aja. Dikira perpus punya nenek moyang dia? batin Nadia.

"Masalah kemarin, ya?" tebak Alvin.

"Masih nanya juga? Gini, nih. Kalau orang kecilnya diaqiqah pakai domba hago." Nadia mencari halaman yang baru saja dibacanya, berpura-pura meneruskan membaca buku.

"Iya, maaf."

"Gitu doang?" Nadia melirik sinis. Tampak sekali Alvin tak benar-benar tulus meminta maaf padanya.

"Apa lagi? Minta maaf udah, beliin seblak udah ...." Alvin mulai kesal juga. Ia heran, tak biasanya Nadia jadi banyak maunya. Ini pasti karena ada yang menghasut. Pasti!

"Bener-bener ya ...." Nadia menutup bukunya kasar dan memalingkan muka.

Srot ... srot ... srot

Terdengar suara isak tangis, punggung Nadia bergetar. Melihat Nadia menangis, Alvin jadi merasa bersalah.

"Nad, lo nangis?"

"Enggak, mata gue kecolok linggis!"

"Nad, lo kenapa sih? Jangan gini dong, elah drama amat." Alvin panik melihat Nadia menangis semakin keras, belum lagi mereka menjadi tontonan mahasiswa yang hilir mudik di taman.

Nadia menyusut air mata dan ingusnya dengan tissue, lalu ia melemparnya ke arah Alvin. "Vin, gue udah capek kali ngadepin lo! Kapan lo bisa peka ama perasaan gue?"

"Masalah anniversary doang, lho! Taun depan 'kan masih bisa?" Alvin berkata dengan entengnya.

Nadia memukulkan bukunya ke badan Alvin, "Taun depan kata lo? Gue aja udah nggak yakin bisa bertahan ama lo sampai besok pagi."

Tak tahan dipukuli, Alvin menghindar agak menjauh sambil mengusap badannya yang terasa sakit karena dianiaya Nadia.

"Nad, kemarin itu gue udah mau berangkat. Motor udah gue cuci dari sore. Gue udah bawa boneka juga buat lo, tapi ...." Alvin mencoba memberi penjelasan.

"Apa? Karin lagi?" tebak Nadia.

Alvin tak segera menjawab, membuat Nadia semakin yakin kalau tebakannya benar. Nadia sangat kesal karena Alvin selalu mengutamakan Karin daripada dirinya selaku pacar sah Alvin.

"Kucing dia lahiran, dia minta gue anterin ke rumah sakit." Alvin berkata dengan lirih.

"Gila, ya! Jadi kucing lebih penting daripada gue?" Nadia kembali memukuli Alvin dengan tenaga penuh.

Nadia berdiri dan bersiap pergi, Alvin segera menarik tangannya agar duduk kembali. "Bukan gitu ...."

"Ngapain kucing dia pake lahiran di rumah sakit? Kucing tetangga gue lahiran di kardus nggak papa 'tuh." Nadia curiga itu hanya akal-akalan Alvin saja.

"Kucing dia bayinya sungsang, mau di caecar."

"Kucing dia lahiran, ngapa lo yang repot? Lo bapaknya? Lo sekalian mau ngadzanin itu anak kucing?" Nadia mengeraskan suaranya, membuat mereka semakin menarik perhatian.

"Udahan, ah. Perkara kucing aja." Alvin berusaha membujuk Nadia. Kalau dibujuk pakai seblak tidak bisa, mungkin di ajak ke alpa bisa.

"Lo tau, nggak? Gue nungguin lo berapa jam? Gue berangkat glowing, pulang jadi burik!" kesal Nadia.

"Lagian, kalau udah tau gue nggak datang ngapa lo tungguin?"

Nadia merasa kesal karena Alvin masih merasa tak bersalah.

"Gue mau kita putus!"

Alvin kaget mendengar perkataan Nadia. Ia menyunggar rambutnya lagi. "Putus? Perkara gitu doang, loh?"

"Gue capek ama lo."

"Beneran putus, nih?" Alvin masih tidak yakin akan keputusan Nadia.

"Iya, abis ini lo bisa tenang ngebabu ama inces junjungan lo itu."

"Jadi beneran?"

"Iya, dodol!"

Alvin mulai panik, sepertinya Nadia serius dengan kata-katanya. "Nad, jangan gini dong! Sayang ...."

"Jangan manggil gue sayang. Sayang pale lo peang?"

"Lo mau anniversary? Ya udah ayok." Alvin menggandeng tangan Nadia, mau dia ajak makan indomi di kantin.

"Dah telat!"

"Belum sehari."

"Bodo! Pokoknya gue nyatakan hari ini kita putus, tamat, finish ...." Nadia menyentak tangan Alvin kasar, hingga pegangannya terlepas.

"Nggak nyesel, lo?"

"Ngapa gue mesti nyesel setelah ngebuang cowok model kutil badak kayak lo? Gue 'tuh kebagusan buat lo!"

"Halah, lo juga menang banyak dapetin gue. Kurang apa gue? Ganteng iya, tajir iya, badan bagus ...."

Nadia mencibir kenarsisan Alvin, nyenyenye ....

"Kurangnya lo cuma satu, lo kurang K. Bukannya peka, lo itu pea!"

"Apa? Dasar cewek kurang syukur. Ya udah kalau mau putus ya putus aja!" Alvin kesal karena Nadia mengatainya. Padahal ia sudah mengalah dari tadi.

"Oke, bye!" Nadia pergi meninggalkan Alvin yang masih merenung.

"Heh, tunggu!" panggil Alvin.

"Apa?" Nadia membalikkan tubuhnya dengan kasar.

"Beneran putus ini?"

"Iya!"

"Kita belum ngitung gono gini!"

"Besok, gue bawain!" Nadia bersiap membalikkan badannya lagi, kesal kesal kesal.

"Heh!"

"Apa?"

"Seblaknya!"

"Mau lo minta lagi?"

"Buruan dimakan, keburu dingin."

"Suka-suka gue!"

Mantan Kampret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang