2. Father's Compulsion

54 8 0
                                    

 Happy reading😊

Duduk di ruangan Jaehan dengan wajah datar, menatap Ayahnya yang sedang menandatangani dan memeriksa beberapa dokumen penting, Tak berapa lama ia meletakkan kaca matanya dan semua berkas-berkas itu di atas mejah lalu menatap Jimin dengan kedua tan...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duduk di ruangan Jaehan dengan wajah datar, menatap Ayahnya yang sedang menandatangani dan memeriksa beberapa dokumen penting, Tak berapa lama ia meletakkan kaca matanya dan semua berkas-berkas itu di atas mejah lalu menatap Jimin dengan kedua tangan yang menyatu. "Bagaimana Jim?, Bagaimana dengan pacarmu? Appa tak pernah melihat ataupun mendengar apapun tentangnya. Kau bohong padaku ya?"

"Tidak. Aku memilikinya. Untuk apa mem-publish hubungan kami di publik, aku tidak suka hal seperti itu," katanya sambil bersidekap.

"Baiklah, kalau begitu bawa dia padaku."

'Oh Tuhan! Orang tua ini benar-benar. Usiaku masih 27 tahun. Aku ingin menikmati masa-masaku sekarang, setidaknya sampai 3 tahun lagi. Aku hanya ingin menikah atas keinginanku sendiri. Aish.. bikin kesal saja.' Gerutunya di dalam hati tanpa ekspresi itu.

Dia selalu saja meminta dan menuntut Jimin banyak hal dengan ancaman. Jimin frustasi dengan semua ini. "Oke, tunggu saja nanti."

"Pacarmu orang Korea?" sebelah alisnya terangkat.

Jimin mengeleng ragu, "bukan."

"Oh begitu, baiklah." Begitu saja jawabnya, membuat Jimin penasaran. Apa yang sebenarnya ia rencanakan nantinya.

"Appa. Kenapa kau ingin sekali aku menikah?"

Selama ini Jimin sering menurut, ia ingin sekali berontak. Namun cara Ayahnya lebih lihai daripada dirinya. Entah mengapa ia seolah lebih tahu dan bisa membaca pergerakan Jimin. Jimin sedang bohong sekarang pun ia seolah mengetahuinya.

"Appa hanya ingin melihatmu memiliki pasangan dan mendaptkan cucu yang lucu. Selain itu, kita bisa memenangkan tander bisnis melawan Jaehyun, itu jika sampai kau memiliki anak." Penjelasannya membuat Jimin menjadi kesal. Ia menutup matanya, mencoba mengendalikan amarah yang ingin meledak keluar.

"Oh.. ayolah Appa! Bagaimana mungkin menikah dan memiliki anak bisa memenangkan Tender bisnis?, kecuali jika memang wanita itu adalah seorang puteri konglomrat kaya. Gadisku bukanlah konglomrat. Ini tidak masuk akal sama sekali. Kau mengajarkaku untuk tidak berjudi, namun kau seperti bejudi dan benda yang kau dapatkan adalah wanita untuk berbisnis. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu," ujarnya sambil mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari telunjuk.

"Dan ya.. menurutku, pernikahan seperti itu hanyalah sebuah game yang dimainkan dengan menggerekan konsolnya saja. Jika menang kita hanya mendapat kepuasan semata. Lebih baik memenagkan itu dengan usaha dan kinerja dan kerja keras kita sendiri." Jimin menjeda kata-katanya dan berpikir sejenak.

"Pikiranmu maju juga, tapi kau salah. Sejujurnya, aku benar-benar ingin melihatmu menikah dan hidup bahagia dengan pasanganmu. Aku juga ingin merasakan memiliki cucu. Meski aku terlihat muda, namun sebenarnya Appa-mu ini sudah tua. Aku ingin melihat kebahagiaan itu, nak," jawabnya dengan nada tenang sambil menelisik masa depan yang cerah.

Bohong! Itu yang ia rasakan. Ia tahu persis bagaimana Ayahnya. Jimin memalingkan wajahnya sambil berdecih dan menatap Jaehan kembali. Ia mengetuk meja kebanggan ayahnya dengan jari telunjuknya.

"Coba Appa, pikirkan sekali lagi. Pernikanan itu bukanlah permainan, sejujurnya aku belum siap menikah. Aku tak ingin menyia-nyiakan istriku dan anakku nantinya, sampai bisa berselingkuh dengan wanita lain dan memiliki anak lain." Sarkasnya, tepat mengenai jantung Ayahnya.

"Kalau begitu, kau tak akan pernah menjadi CEO. Perlu kau tahu, Heechan bisa saja menduduki kursi ini. Padahal Appa hanya menyiapkan kursi ini untukmu saja," katanya sambil menepuk pegangan kursi tempatnya duduk.

"Menikah atau kehilangan jabatan dan segalanya. Aku tak akan memberikan akses untuk bertemu dengan keluargaku lagi. Pilihlah dengan bijak," ucapnya dengan tegas.

Lucu sekali bukan, Jimin seperti boneka yang digerakan Ayahnya. Ancamannya sulit Jimin lawan. Permainannya sungguh sangat gila. Jika saja bukan karena jabatan dan koneksi keluarganya yang lain itu, Jimin benar-benar akan berontak sekarang juga. Posisi itu adalah segalanya baginya sekarang. Jika dia sudah mendapatkanya, maka ia akan bisa menguasai banyak hal.

"Dia bukan dari keluarga konglomerat, Apa Appa akan setuju?," katanya pelan.

Jimin menatap Ayahnya dengan tubuh yang penuh dengan hawa panas akibat amarah yang dia tekan. Ia sangat kesal sekali, namun harus tetap mengendalikan emosinya.

"Tidak masalah selagi attitude-nya baik dan tidak membuat onar. Makanya, apa ingin melihat terlebih dulu bagaimana pacarmu."

Jimin menghembuskan nafas dengan kasar. Mendorong kursi tempatnya duduk dengan brutal ke belakang dan pergi. Ketika sudah ada di ambang pintu. Jaehan memanggilnya lagi dengan suara lembut seperti Ayah yang baik hati memanggil anaknya, "Jimin-ah."

Jimin memutar kepalanya 90 derajat, menatap Jaehan dengan malas.

"Appa minta tolong padamu. Tolong hadiri pertemuan dengan client di Indonesia bulan depan."

"Hmm" Jawabnya singkat. Pria berambut hitam itu kembali melangkahkan kakinya dan menutup pintu ruangan itu dengan keras. Jaehan tersenyum dalam ruangan itu, selepas setelah Jimin pergi dengan membawa amarahnya.

 Jaehan tersenyum dalam ruangan itu, selepas setelah Jimin pergi dengan membawa amarahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote and Comment!

Pinky Promise || JiminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang