01. Prolog

217 47 15
                                    

Hening...

Tak ada suara apapun yang terdengar menjelang malam itu. Biasanya, ada dersik dedaunan yang saling menyapa diterpa angin. Entah kenapa, angin pun hanya malu-malu berlalu.

Gerombolan kunang-kunang berlalu melewati bebatuan besar yang tajam. Mereka baru saja terbang mengitari bunga yang baru saja tumbuh sebelum diusik oleh kehadiran seseorang yang berusaha menangkapnya.

Kini, suasana tak sehening sebelumnya. Ada derap langkah dua pasang kaki yang saling berkejaran. Seorang anak lelaki yang sedang fokus pada kunang-kunang buruannya, dikejar oleh seorang gadis yang lebih besar darinya.

"Darius, sebaiknya kita pulang sekarang. Hari menjelang malam," seru gadis itu saat berhenti kelelahan mengejar adik tunggalnya. Silvanna terengah seraya mengusap dadanya. Matanya menangkap suasana sekitar, sudah hampir gelap dan mereka masih di tengah hutan.

Meski jauh lebih muda, adik laki-lakinya begitu sulit dikejar. Dia terlalu lincah, hingga mampu melewati tiap akar pepohonan dan bebatuan dengan mulus. Berbeda dengan Silvanna yang harus memilah batu atau akar pohon mana yang bisa ia pijak agar tak terpeleset.

"Darius, nanti Ayah mencari kita untuk makan malam!" lanjut Silvanna saat kembali mengejar anak berusia enam tahun itu. Tak ada jawaban apapun yang ia terima dari adik lelakinya. Yang ia dapati hanyalah jaraknya dengan Darius semakin menjauh.

"Darius!!" seru Silvanna lagi sebelum ia terjatuh karena tersandung sebuah akar pohon yang melintang. "Aww!" keluhnya sambil meringis. Ia merasa ada darah segar yang mengucur dari lututnya. Benar saja, lutut kanannya terluka disertai lebam kebiruan di sekitarnya.

"Da..." baru saja hendak memanggil, Silvanna merasa angin menyapa kulitnya. Kencang dan semakin kencang hingga mengayunkan rambut krem panjangnya.

Ia menutupi wajahnya dengan kedua lengan yang disilangkan untuk menghindari debu dan dedaunan yang beterbangan lalu mengganggu indera penglihatannya.

"Ada apa ini?" Silvanna bertanya pada dirinya sendiri.

Saking kencangnya angin itu, Silvanna sampai tak sanggup berdiri karena tubuhnya terus terdorong. Yang ia bisa lakukan adalah merangkak, mencari sebuah pohon yang bisa melindunginya dari terpaan angin itu.

Setelah dapat, ia berpegangan pada batang pohon untuk membantunya berdiri dan mencari keberadaan Darius yang sepertinya sudah sangat jauh darinya. Silvanna berhasil berdiri, lalu bersandar ke batang pohon tempat berlindungnya.

"Darius!!"

"Kakak!!!"

Kini Silvanna mendengar sahutan dari adik tunggalnya. Ternyata, Darius sudah berdiri beberapa meter di depannya seraya menenteng stoples gantung yang berisi kunang-kunang buruannya. Anak lelaki itu tersenyum riang diiringi binar mata yang menandakan betapa bahagiannya ia saat itu.

Silvanna bisa bernapas lega. Adiknya tak terlalu jauh dengannya.

Saat Darius berlari mendekat ke arah Silvanna, ia disergap dari belakang oleh seekor burung raksasa yang membawa serta tali untuk mengikat Darius.

Jerit histeris Darius yang memanggil kakaknya terdengar semakin jauh.

Sejak hari itu, Kerajaan Cahaya mulai menemui masa kelamnya.

Bersambung...

Bring Back the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang