Bel sekolah berdering panjang. Anak-anak tampak tertib memasuki kelas diikuti guru-guru yang keluar dari kantor dan berpencar ke segala arah untuk membagikan ilmunya kepada anak didik mereka.
Sebuah langkah kaki terdengar menggema di lorong deretan kelas XII MIA yang sepi. Pemilik langkah kaki itu melirik ke kiri dan kanan, mencari papan yang bertuliskan "XII MIA 1", kelas tempatnya belajar.
"Jadi kesimpulannya, akar-akar dari x²-5x+15=0 adalah x=3 atau 5 dengan cara—"
Guru Matematika, Pak Harjo, menghentikan penjelasannya ketika pintu kelas terbuka tanpa ada suara ketukan terlebih dahulu. Di balik pintu, tampak seorang gadis dengan wajah santai berdiri di ambang. Sang guru membenarkan letak kacamatanya dan menghentikan pembelajarannya.
"Kamu ... sudah jam berapa sekarang?"
"Masih jam delapan, Pak."
"'Masih', ya, katamu, Ju. Kenapa kamu terlambat?"
"Itu ... anu ...," gadis itu menggaruk pipinya yang tidak gatal sambil memberikan tatapan canggung kepada guru itu. "Saya menunggu ponsel di-charge penuh, Pak."
Dengung tawa terdengar dari seisi kelas.
Pak Harjo hanya menghela napas. Pria itu tidak tahu harus marah atau tertawa sekarang. Melihat kejujuran wajah Ju, Pak Harjo berpikir bahwa tidak perlu menghukumnya setelah perdebatan panjang dengan hati kecilnya.
"Ya, sudah, silakan duduk. Tapi ingat, saya tidak akan menoleransi kesalahan yang sama lagi, mengerti kamu?"
"Beres, Pak!"
Ju berjalan melenggang menuju bangkunya diiringi tatapan seluruh orang di kelas. Ia menaruh tasnya begitu saja dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
Satu jam berlalu. Ju mulai menguap. Tatapan bosannya mengarah pada papan yang dipenuhi dengan rumus dan angka. Ju lalu berdecak kesal.
"Ah, bosan! Masih lama pula istirahatnya."
"Ssst, jangan ngoceh mulu. Dihukum Pak Harjo baru tahu rasa lo," tegur teman sebelah bangku Ju.
"Memang kalau yang dihukum gue, lo juga bakal kena gitu?"
"Enggak gitu juga. Enggak bosan apa dihukum terus kerjaannya?"
"Kalau dihukum Pak Harjo, sih, upil, enggak kerasa. Kemarin gue baru aja masuk BK gara-gara Pak Kusno."
"Yaelah, malah nyalahin guru. Lo, sih, kerjaan main dan buat onar mulu."
"Lo mau ikut geng gue?" tanya Ju yang disambut gelengan pelan teman sebelah bangkunya.
"Elah, Bin, enggak seru lo. Masa SMA itu masa yang paling membekas di hati kita, seharusnya kita isi dengan kenangan-kenangan manis yang dapat membuat kita tertawa sendiri, menangis, atau tersipu ketika kita sudah dewasa nanti. Kalau masa SMA lo buat belajar mulu, hambar hidup. Mending enggak usah hidup sekalian," cerocos Ju membalas teguran Binar panjang lebar.
"Salah sarapan, ya, lo? Kok, tiba-tiba ngomong kayak gitu? Dah, mending lo fokus dulu sama pelajaran. Soal perut keroncongan, serahkan sama gue."
"Bener? Lo memang teman lelaki gue yang paling pengertian, Bin!"
Binar tersipu.
"Biasa aja, ah. Namanya juga teman."
"Itu kalian berdua, bisa fokus pelajaran saya? Dari tadi saya perhatikan, kok, bicara sendiri." Lantang berteriak Pak Harjo membuat Ju dan Binar tersentak.
"Enggak bicara sendiri, kok, Pak. Kan, ada Binar," jawab Ju.
Dengung tawa kembali terdengar.
"Terserah. Binar, Bapak tahu, nilai dan prestasi kamu memang selalu bagus, selalu peringkat satu seangkatan setiap tahunnya. Tapi, tolong hargai Bapak sedikit. Dan untuk kamu, Litha Juwitaningrat, Bapak sangat menyayangkan tingkah kamu yang semakin lama semakin menjadi. Bapak mohon, Ju, bersikaplah sedikit lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Chamomiles
De TodoBenda-benda kecil itu ternyata tidak bisa dipandang sepele. _____________________________ Dia adalah Ju, seorang gadis temperamental dengan segala keunikannya. Di sampingnya, berdiri seorang sahabat yang setia dengannya dari balita sampai remaja. Ia...