Kukatakan berulang kali pada diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja. Untuk saat ini. Barangkali perlu beberapa waktu bagiku menetralisir pikiran tak warasku. Perihal kejadian janggal belakangan ini, aku tiada mau membahas lagi.
Untuk ke sekian kalinya, kubenturkan dahiku pada pintu lemari pakaian di dalam hotel ini. Tugasku memang selesai. Wawancara dan laporan telah kusetor pada editor untuk selanjutnya dikoreksi. Helaan nafasku menggantung di udara dingin kamar ini. Seharusnya aku pulang dan melupakan semuanya, seperti yang dianjurkan Raka. Atau sebaiknya aku menghubungi psikiater?
Tanganku hampir meraih ponsel untuk menghubungi psikiater kenalan Mama. Alih-alih nomor dokter Yasmin, aku justru menghubungi Elsa. Ekor mataku menyoroti jam dinding. Jarum pendeknya mengarah tepat di angka sebelas. Terlalu larut menghubungi sahabatku ini. Tapi bagaimana lagi? Ingin kusampaikan padanya soal tadi. Jantungku berdenyutan tiap mengingat perkataan Raka yang terus-menerus terngiang di kedua telingaku. Ia sudah bertunangan, lantas apa masalahku? Seharusnya aku mengepak koporku dan bergegas kembali ke Jakarta, bukan?
Tak ada jawaban kecuali dering panjang di seberang sana. Jemariku terketuk pada lapisan kayu lemari pakaian yang kutaksir bernilai besar. Sekali lagi, ekor mataku menyoroti jam dinding. Nafas panjang kuhela pendek begitu terhubung dengan voicemail. Tanpa meninggalkan pesan suara, aku sudahi panggilan ini. Benda pipih yang baru kubeli setengah tahun lalu kulempar menuju ranjang. Ponsel itu terhentak kecil dan mendarat di sebelah bantalku. Aku pandangi lemari di depanku, membenturkan dahiku perlahan berulang-ulang, lalu menggerung seperti orang sinting yang terlambat diberi obat penenang. Kuhempaskan badan menuju ranjang. Badan mungilku terpental lembut, sementara mukaku ditenggelamkan bantal berisi bulu angsa yang empuk ini. Aku menggerung lagi, mengepak-ngepak kakiku bagai ikan menggelepar di atas daratan dan hampir mati tanpa air. Badanku terbaring. Tangan terlipat di atas perut, sedang mataku bertemu dengan langit-langit berukir rumit di atas sana.
Jika ia bukan jodohku, mengapa pikiran dan perasaan janggal ini terus menghantuiku? Haisshhh... sungguh, aku tak tahan dengan semua yang tengah berkecamuk di dadaku bagai gemuruh ombak di laut pasang. Tubuhku berguling ke kanan-kiri. Benar-benar mengesalkan. Mata ini enggan terlelap barang sedetik. Kendati ingin berkelana ke dalam mimpi—meski aku tak yakin Helenina tak akan menghantuiku kembali—kusentak badanku malas-malas. Dengusan sebal dari bibirku. Duh, Gusti Pangeran, apa sebab kau bikin aku begini? Hati ini enggan tenang. Selalu merasa diikuti oleh bayangan janggal yang tak kutahu dan pahami.
Aku sambar laptop di atas nakas, menghidupkannya sekadar hiburan. Ketak-ketik jemari pada keyboard pertanda keterjagaanku berbunyi cukup nyaring di tengah keheningan. Tak tahu apa yang kukerjakan untuk mengusir kebosanan ini. Kuulang kegiatanku mengecek email, mengecek kotak masuk di jejaring sosial, dan membaca berita-berita terbaru sebagai kajian.
Entah siapa yang membisikkan ke telingaku, jemariku menari lincah mengetik nama Helenina Bregsma sekali lagi pada search engine. Bukankah aku telah melakukan itu dan tak mendapatkan jawaban memuaskan?
Helenina Bregsma. Yang keluar justru nama orang-orang yang tak kukenal.
Helenina Bregsma, saudara Ratu Wilhelmina. Tak ada yang bernama Helenina Bregsma dalam silsilah keluarga besar kerajaan Belanda sejak Ratu Wilhelmina berjaya.
Helenina Bregsma, wanita tercantik di Hindia Belanda. Sama saja nihil. Tiada kutemukan artikel tentang gadis misterius di dalam mimpiku ini.
Aishh... mengapa aku begini tololnya? Sudah pasti Helenina hanya ada di alam mimpiku. Pun nyata, ia tak mungkin masuk artikel. Ia bukan tokoh pergerakan. Jika kecantikannya yang tiada tara menjadi buah bibir di kota kelahirannya, dunia pun menyaksikan kisah hidupnya yang mengalahkan Nyai Dasimah yang melegenda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELENINA (SELESAI)
Historical Fiction"Di dunia ini ada dua kebetulan. Kebetulan biasa dan kebetulan yang membawamu pada takdir."