Pembaca, kiranya kau boleh meninggalkanku dalam ketidakberesan ini. Bisa jadi kau akan masuk ke dalam dunia gilaku. Silakan, tinggalkan aku, pergi sejauh mungkin dan anggaplah aku tak pernah bercerita padamu, sebelum kau kubuat bingung dan tak percaya pada apa yang tengah terjadi padaku.
Tapi jika kau masih berada di dekatku, akan kulanjutkan cerita ini.
Sungguh tak kusangka otakku benar-benar mengalami gangguan hebat. Aku tak percaya mengatakan ini padamu, pembaca budiman, namun aku curiga bahwa skizofrenia sedang aktif mengganggu isi kepalaku. Penyakit kejiwaan fatal yang tak mampu membedakan imajinasi dan kenyataan. Mataku mengerjap perlahan. Konsentrasi seolah lebur dalam ketidaksadaranku, dikuasai goncangan hebat. Lelaki di depanku ini amat sangat mirip dengan lelaki di mimpiku, si Pribumi kawan abang Helenina, Ario. Yang seorang anak raja kekratonan. Aku bergeming entah selama berapa menit.
Pada akhirnya lelaki di depanku, pelukis Helenina Bregsma, menegurku hingga kesadaran menamparku kuat sekali.
"Anda baik-baik saja?" tanyanya memastikan.
"Ario?" seperti orang yang terlalu fanatik pada cerita fiksi, aku bertanya, menganggap lelaki itu kukenal sebagai Bendara Raden Mas Arianta.
"Wow, Anda sangat mirip gadis di dalam lukisan itu." Ia menunjuk lukisan Helenina dengan telunjuknya. Matanya yang gelap menelisikku lekat. Caranya memandangku begitu mirip dengan Ario. Aku curiga, jangan-jangan ia bermimpi sama denganku. Siapa sangka Tuhan sengaja mempertemukan aku dengan lelaki ini karena kami berjodoh?
Hahaha! Sekarang aku ngelantur.
"Helenina Bregsma, kan?" Aku tersenyum sumringah. Kuulurkan tanganku riang, berniat berkenalan dengannya. Bukan maksud aku terlalu percaya diri. Orang di depanku, yang sejatinya asing, malah seperti orang terdekatku. Ikatan abstrak ini dapat kurasakan hingga ke pedalaman jiwaku. Yakin, ia pasti jodohku. "Larasita Nareswari." Sudah lama aku tak memasukkan nama belakangku sehingga bersatu dengan nama depan dan tengah itu. Tidak, aku tak ingin membawa Papa ke dalam kehidupanku. Biar ia tak menganggapku ada, aku tidak masalah. Akan kulakukan hal serupa.
"Oh." Lelaki itu menyambut jabatan tanganku. "Raka." Senyum ramah ia tambahkan di antara perkenalan kami. Aku sempat mendesah dalam hati begitu tangannya terlepas dari genggamanku. Tidak apa, Laras, kau masih punya banyak waktu mengenalnya lebih! Pekerjaanku sebagai jurnalis mempermudah peluangku berkenalan dan dekat dengannya. Siapa sangka, ia bisa membeberkan padaku latar belakang pembuatan lukisan Helenina. Bagaimana bisa?
Aku yakin gadis itu pernah hadir dalam mimpinya pula, seperti aku.
"Kalau boleh, saya ingin mewawancarai Anda. Lukisan ini berbeda dengan lukisan lainnya."
"Karena Anda mirip dengannya?" selorohnya seraya tertawa. Cara tawanya bahkan mirip dengan tawa Ario. Tuhan, kiranya Kau benar mengirimkan ia untukku. Dapat kurasakan keajaiban yang Kau antar padaku. Orang ini pasti Kau datang dan pertemukan denganku bukan tanpa sebab, kan?
Senyumku tersungging kaku. Tanganku bagaikan tak memiliki daya. Saat mengeluarkan catatan dan pulpen, aku seperti merasakan kesemutan. "Oke, jadi kita mulai sekarang." Kumulai wawancara ini dengan menanyakan informasinya secara singkat. Ia tak banyak memberiku keterangan mengenai dirinya, hanya hal-hal umum. Aku tak keberatan. Siapa tahu ia enggan memberikan informasi dirinya pada orang asing macam diriku.
Haha, orang asing. Bukankah jika ia pernah memimpikan Helenina, aku tak lagi asing baginya?
Saat ia hendak menjawab pertanyaan pertama dariku, seorang pria berjas rapi menyapa Raka dan menggumam sesuatu dekat dengan telinganya. Entah apa yang dibisikkan pria paruh baya itu, tapi ekspresi Raka berubah mendadak. Ia menatap aku yang menunggu wawancara langsung dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELENINA (SELESAI)
Ficción histórica"Di dunia ini ada dua kebetulan. Kebetulan biasa dan kebetulan yang membawamu pada takdir."