SOERABAJA, 1905
"Jadi, ini yang namanya Hindia, tanah kelahiranku?"
Selama sisa perjalanan menuju rumah Papa, aku tak lelah bertanya pada wanita di sebelahku, Elien, yang telah menjadi jururawat pribadi setiaku semenjak aku dibawa ke Nederland. Dengan sabar ia menjawab segala pertanyaanku yang dirasa perlu kutahu. Selama aku tinggal dan belajar di Utrecht, tiada sepenggal cerita pun tentang tanah kelahiranku yang kudengar. Tante Roos yang merawatku atas perintah Papa hanya bercerita sekadarnya. Cerita-cerita tentang mimpi buruk suatu tempat yang disebut Hindia. Suatu kali ia berkata padaku bahwa Mamaku bagian dari Pribumi. Tak pernah kudengar hal-hal baik darinya tentang Mamaku kecuali kata gundik, pelacur, dan setan yang sering membuat hidungku mengernyit tidak suka. Meski aku telah lama dipisah dari Mamaku—kira-kira sejak usiaku lima tahun—tetap aku tak suka jika ada seseorang yang menghinanya. Lantaran tidak ingin mendapatkan bentakan atau hukuman yang tak segan-segan dijatuhkan padaku, aku tiada pernah menerjangnya dengan makian telah begitu lancang menyebut Mamaku seorang pelacur.
"Benar, Juffrouw," Elien mulai bercerita sekenanya, yang ia tahu tentang Hindia, lebih lagi kota ini. Aku lahir dan dibesarkan sampai berumur lima tahun di kota ini.
Perhatian kulabuhkan menuju keluar jendela kereta yang mengangkut kami menuju rumah Papa di Peneleh. Tempat ini jauh dari Nederland. Aku tak patut membandingkannya dengan Nederland. Meski begitu, jantung ini berdebar. Hati ini pun berbunga laksana musim semi yang disambut gembira mentari pagi. Bukankah aku harus bahagia karena bertemu dengan Mamaku setelah sekian lama dipisah?
Kuberitahukan padamu, Papaku memiliki seorang istri yang dinikahi secara sah; Anneke Bregsma. Ia tinggal di Amsterdam, tanpa anak. Mungkin itulah yang membuat Papa berkeliaran di Hindia mencari perempuan-perempuan yang bersedia—atau barangkali dipaksa—menjadi gundiknya. Mamaku gundik terakhirnya. Berdasarkan cerita Elien, Papaku menaungi sekitar lima gundik yang telah melahirkan banyak anak darinya. Aku tak kenal saudara-saudariku di sini kecuali nama mereka. Sungguh tak ada setitik ingatan yang bersembunyi di dalam ruang kepalaku mengenai kehidupanku sewaktu tinggal di negeri ini. Aku bagaikan dibius oleh ketidaksadaran, membuatku melupakan segala hal tentang tanah kelahiranku.
Kereta kuda yang membawa kami mendadak berhenti begitu kudengar suara kusir memaki-maki dalam bahasa yang tak kumengerti. Turun dari dalam kereta, Elien memintaku tetap di dalam. Kepalaku melongok keluar penasaran. Jururawatku berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti bersama kusir kereta ini. Elien pernah tinggal di sini, dibawa Papa untuk menjadi jururawatku pribadi, sebab ia begitu sayang padaku hingga meminta Elien berlayar ke Nederland khusus untukku, merawatku bersama Mama, lalu menemani pelayaran pertamaku ketika aku berusia lima tahun. Kurasa, ia mengerti beberapa bahasa yang digunakan di sini.
Menunggu jemu, nafasku terhela tak kentara. Kulepas topi lebar yang kukenakan sejak dari Utrecht, memangkunya dan melesatkan perhatian keluar. Kereta ini berhenti tepat di depan segerombolan bocah lelaki yang tengah bercanda tawa, entah membicarakan apa. Saat roda kereta mulai melindas batu kerikil dan Elien telah duduk manis di sampingku, saat itu pula mataku menyoroti satu sosok di antara bocah-bocah itu. Begitu pula dengannya; bocah lelaki itu merangkul kawannya, berbisik di telinganya seraya menatapku tak berkedip.
"Hanya sedikit kendala, sudah dibenahi," Elien membuyarkan perhatianku dari sosok pemuda itu.
Kepalaku lalu menoleh ke arahnya sementara waktu, kemudian kembali terpaut pada gerombolan tadi. Tak kudapati lagi pemuda itu, sebab kereta berbelok ke tikungan. Sudut-sudut bibirku tertarik membentuk cebikan kecewa.
"Sedang memerhatikan apa, Juffrouw?"
Tanpa menoleh aku pun menjawab, "Niets, Elien."
"Tapi perhatian Noni Helenina terpaku pada suatu tempat sampai sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
HELENINA (SELESAI)
Historical Fiction"Di dunia ini ada dua kebetulan. Kebetulan biasa dan kebetulan yang membawamu pada takdir."