Aku tak tahu bagaimana memanggilmu dengan sopan, kuharap kau bersedia kupanggil dengan namamu saja. Suratmu telah sampai dan kubaca. Aku tidak pernah keberatan mendapatkan teman baru, biarpun mereka Pribumi. Tidak banyak orang di Nederland yang sudi memujiku seperti kau. Sungguh kau buat aku tersipu. Jangan kuatirkan Papaku. Beberapa hari ini dia hendak menuju Fort de Kock menengok Mama Ratmi dan kakak perempuanku, Elisabeth. Kau boleh bertandang ke rumahku. Abang pasti senang kau ajak bermain atau belajar.
Nina
Begitu surat usai kutulis, aku melipat kertasnya dan menitipkan pada Subarja, kaki tangan Mama yang setia padanya layaknya Parjo pada Papa. Lelaki itu mengangguk patuh, langsung melesat meninggalkan kamarku. Iringan musik dari phonograf di samping meja tempatku menulis merambat di udara sampai pada pendengaranku, membuatku tertegun sementara waktu, bersendang dagu mengamati langit-langit tanpa kutahu apa yang tengah mengganggu pikiranku. Kecuali teman abangku, si Pribumi itu.
"Hmm... dari tadi kerjamu diam saja di kamar. Tidak mau keluar, Nin?" suara Mama terdengar di ambang pintu menyentakku dari kesadaran. Aku menoleh padanya dan mendesah pendek.
"Soal surat tadi, Ma. Aku baru mengirimkan balasannya."
Mama mengambil tempat di sebelahku. Tatapannya begitu dalam dan hangat. Kami lama tidak bertemu. Walau sedikit asing, masih ada perasaan nyaman yang melebur ke dalam peredaran darahku. Tangannya mengelus rambutku yang baru kusisir sebelum tidur.
"Maafkan Mama, Nak," katanya dalam Jawa, lalu menerjemahkannya ke Belanda. "Het spijt me voor alles (Maafkan Mama atas segalanya)."
"Ma, tak usah kau minta maaf padaku. Toh aku sudah menjalani. Kulewati baik-buruknya di Nederland dengan ketabahan. Aku bisa mandiri. Tanpa kau, tanpa Papa, tanpa kakak-kakak dan Mama-Mama lainnya. Tak inginkah Mama melihatku menjadi perempuan mandiri?" Aku ingin menghibur Mama dengan ucapan yang kuharapkan tak keluar dari mulutku. "Mungkin, Papa menginginkan yang terbaik. Akan kulakukan kemauannya, Ma. Asal kau dan Papa bahagia."
"Apanya yang bahagia?" nada Mama berubah sentimen. "Kau bahagiaku, Nina. Kau, anak yang kukandung dan kubesarkan dengan sungguh-sungguh. Papamu tiada pernah menemani Mama selama mengandung kau, Nina. Yang ada di pikirannya hanya pekerjaan. Otak kapitalis yang seenak perut memerintah sana-sini." Lagi-lagi Mama membuang muka. Kebenciannya terhadap Papa tampaknya telah mendarah daging. Kendati putri dari mereka, aku tidak tahu harus berbuat apa. Mereka toh beda ideologi, tak akan bisa satu.
"Ma, sejujurnya aku tidak mau kembali ke Utrecht," bisikku. "Aku ingin di sini, tapi aku tak mau kau dan Papa saling mencaci." Aku bimbang. Dalam lubuk hatiku, ingin kumenetap di Hindia, di Surabaya, bersama Mama dan kunikmati kehidupan baru jauh dari cercaan orang Eropa. Namun, tak mau pula kudengar perdebatan Papa yang berakhir dengan kalimat yang menyakiti Mama. Lantas harus apa aku ini, God?
Mama terdiam. Pandangannya nyaris kosong. Kepalanya menengadah ke atas, lalu ia lepaskan nafas yang semula ia tahan di paru-parunya. "Sudah malam, lekas tidur."
"Aku kesulitan tidur."
"Masih ada kebiasaanmu itu. Mau Mama nyanyikan pengantar tidur lagi biar kau kembali seperti kanak-kanak."
Aku terkikik pelan. Kuanggukkan kepala mengiyakan, lantas bergerak cekatan menuju ranjang. Gaun tidurku menyapu lantai, sebelum terkibas ke atas saat kurebahkan tubuhku dan Mama mulai memosisikan diri di samping.
"Sudah lama Mama tidak menidurkanmu, Nin," Mama berbisik di sampingku. Jemarinya mengusap lembut pipiku. "Bagi Mama, kau masih bayi yang renta."
KAMU SEDANG MEMBACA
HELENINA (SELESAI)
Historical Fiction"Di dunia ini ada dua kebetulan. Kebetulan biasa dan kebetulan yang membawamu pada takdir."