Dan akhirnya mereka berdua hidup bahagia selamanya. Selesai.
Sayangnya, aku tidak diciptakan untuk memberikan akhir bahagia pada umumnya. Telah kuselesaikan naskah ini dalam waktu setengah tahun di sela-sela kesibukanku. Aku sedikit frustrasi menghadapi beberapa masalah di bagian-bagian tertentu, terlebih saat aku mengalami problem yang sulit aku lewati, sesulit memecahkan rumus integral. Pada akhirnya, cerita ini berhasil aku rangkum menjadi satu, lantas aku simpan dalam sebuah folder. Jarum jam di kamar ini baru menunjuk angka delapan pagi. Bayangkan saja, demi menyelesaikan beberapa bab, aku melembur tanpa tidur. Untung aku terbiasa menghadapi ini, meski orangtuaku kerap menguliahi sejam lebih dengan pertanyaan-pertanyaan membosankan yang diulang tiap harinya. Sengaja, aku mengunci pintu agar baik Mama maupun Papa tak memergokiku melembur lagi.
Sialnya, aku kini mengantuk. Padahal masih banyak aktivitas yang perlu kukerjakan seharian ini. Salah satunya memberikan naskah ini pada editorku yang berulang kali menuntut aku menulis sesuatu untuk penerbit. Sesaat aku menguap dan meregangkan otot-ototku, bunyi ding pada ponsel menyita perhatian.
Mas Erik:
Nin, udah belum? Deadline udah lewat nih
Bola mataku terputar ke atas
Me:
iya ini udah kelar. kita ketemu di mana?
Mas Erik:
di tempat biasa aja
Lekas aku bereskan mejaku yang berantakan dengan secangkir kopi dan berlembar-lembar kertas—termasuk buku harian lusuh yang aku curi diam-diam dari lemari penyimpanan benda-benda bersejarah yang telah disakralkan orangtuaku.
Satu jam aku gunakan untuk mandi dan beberes. Selang beberapa menit aku keluar dari kamar dalam keadaan rapi; kemeja kotak-kotak merah, celana pensil, rambut dikuncir kuda, sepatu kets, dan tas slempang yang aku gantung serampangan. Di depan televisi aku lihat Rian memukul-mukul piring makannya dengan sendok sambil mengoceh menirukan iklan di televisi. Padahal aku tak ingin dibuatkan adik—alasannya karena tidak mau cinta Mama dan Papa terbagi lagi. Namun demikian, kehadiran adik laki-lakiku itu setidaknya meramaikan rumah yang sepi ini. Mama tak mau ambil pusing mencomot pembantu atau babysitter karena ia sanggup melakukan tugas rumah tangga dengan tangannya sendiri. Secara mandiri.
Di luar rumah aku lihat Mama mengantar Papa menuju mobilnya. Mereka berciuman sebentar sambil bertukar lambaian. Mengamati mereka dari dalam, aku jadi bertanya-tanya, kapan kiranya aku menemukan seseorang seperti Papa untuk Mama. Aku memutar badan dan langsung berhadapan dengan lukisan yang terkungkung dalam bingkai besar. Mata bulat kecil perempuan dalam lukisan itu menjarah mataku, seakan ingin mengajakku bercengkerama seperti biasanya sebelum aku bertekur dengan laptop di kamar dan memulai menulis. Lukisan itu entah mengapa sangat sakral bagi keluargaku. Bagiku pula. Aku mengagumi perempuan dalam lukisan itu. Antara membacanya dalam sebuah cerita dan mendengar kisahnya sendiri dari mulut keluargaku tentu jauh. Kau tak akan merasakan kesakralan menyublim lewat buku-buku jarimu sampai kau merinding, seperti yang kerap aku rasakan tiap kali mendengar kisahnya dari mulut Mamaku sendiri.
Aku buru-buru menyambar roti selai nutella di atas meja makan ketika Mama melangkah masuk dan meraih Rian—Arianta—dalam gendongannya.
"Besok eyang putri datang. Kamu jangan bertingkah di depan eyang putri," Mama menegur aku. Padahal aku baru duduk di kursi dan mengunyah sarapanku tak kurang lima menit. Mama mendudukkan Rian di kursi bayi dan menyuapkan makanan ke mulut kecil adik laki-lakiku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELENINA (SELESAI)
Historical Fiction"Di dunia ini ada dua kebetulan. Kebetulan biasa dan kebetulan yang membawamu pada takdir."