“Kolonial Jepang itu mengatakan, bahwa wanita hanya mengurusi dapur, bukan medan penjajahan.” —Citraloka
***
20 Agustus 1945
“MERDEKA!”
Itulah kata-kata yang sedang menggelegar di sepanjang kampung utara Magelang. Suara itu terus bersahutan dari ujung hingga ujung, dan tidak ada pertanda sama sekali bahwa suara itu akan hilang dari kampung ini. Dari mulai pedagang, pengrajin, petani, bahkan pekerja kinrohosi¹ pun turut berbahagia di waktu ini.
Terlihat sekali bahwa ini adalah wujud kebahagiaan mereka, yang mungkin belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Tak sedikit dari mereka yang menangis, bersujud, berteriak, bersimpuh, hingga memainkan bambu tua sebagai pertanda syukur mereka kepada Yang Kuasa.
Tapi memang benar. Di sana tidak ada dentungan meriam, ledakan bom, tembakan senapan, tangisan histeris, warga tergeletak tak bernyawa, asap kebakaran, semuanya tidak ada, habis dan lenyap begitu saja. Segalanya terasa damai, tenang, serta nyaman. Seperti suasana kemerdekaan yang sepenuhnya.
***
“Citra, hentikan kerjamu, negeri kita sudah merdeka! Berbahagialah!” seru seorang pekerja kinrohosi yang berlari kegirangan menuju seorang petani gadis, yang sedari tadi masih sibuk dengan tumbuh-tumbuhan di kebunnya itu.
Gadis itu menengadah, tanpa memedulikan pemuda yang tadi meneriakinya dari ujung kebun. Ia hanya menggeleng. Raut wajahnya seperti sedang menertawakan sikap polos pemuda itu, yang pastinya dia hanya mengumpat lewat ekspresi indahnya.
“Lho, malah geleng-geleng ki pie tho? Kita ini sudah merdeka, sudah tidak perlu lagi bekerja! Jadi, nikmati saja, Nduk!” lanjut pemuda lain yang datang dari lahan depan, dan kini ia berdiri persis di sebelah pemuda yang datangnya awal itu.
Gadis itu meletakkan wadah berisi sayur-mayur hasil panenan tadi di tanah, sembari membenarkan posisi kain jaritnya, dan berjalan menghampiri kedua pemuda yang sedari tadi hanya sibuk dengan berita kemerdekaan mereka.
“Merdeka boleh saja, tapi apakah dengan pernyataan itu kita sudah benar-benar merdeka? Apakah kalian percaya begitu saja?” sanggah gadis itu.
“Ealahh ... Nduk, Nduk. Kalau bukan merdeka, lantas ini apa? Konspirasi?” lanjut sang pemuda.
Gadis itu menaikkan satu alisnya, dan mencoba menyungging senyum. “Memangnya, kalau benar-benar sudah merdeka, apakah kita akan berhenti merawat, menyayangi, dan bekerja keras untuk tanah Nusantara yang subur ini? Apakah kita akan meninggalkan kewajiban kita sebagai warga Magelang begitu saja?” sahut gadis itu lagi, membuat kedua pemuda itu menjadi diam terpaku, dan akhirnya pergi meninggalkan gadis petani itu sendirian, lagi.
“Ya sudah, terserah kamu wae, Nduk. Kita mau ke balai dulu.”
Mendapati kedua pemuda itu pergi, sang gadis hanya bisa menggelengkan kepalanya, dan mengulum senyum tipis tak bergaris. Gadis itu memang pekerja keras, yang tidak percaya begitu saja dengan kalimat manis para kolonial Jepang masalah kemerdekaan bangsanya.
Bahkan tak jarang, dia sendiri yang menolak paling keras, ketika para bala tentara Jepang menawari bangsanya untuk dimerdekakan. Karena, dimerdekakan terlihat sangat hina, dibandingkan terus berperang memperjuangkan kemerdekaan walaupun nyawa taruhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Citraloka Magelang [HIATUS]
Historical FictionMungkin saja, ini adalah kisah yang membuat kalian sadar, betapa pentingnya keadilan dan persatuan. Adil itu baik, tapi keadilan jauh lebih baik. Hancur. Sehancur-hancurnya. Setiap kala hanya dihiasi dengan tangisan derita. Di mana letak manusiawi k...