Lima

3.6K 675 66
                                    

Pagi hari, Aliya menyiapkan sarapan untuk Arka dan Alea, sepanjang memasak, Aliya tak hentinya menggerutu perihal sikap Arka padanya. "Dasar kadal buluk, buluk, buluk, belum ngerasain gigitan buaya." Aliya mengusap keningnya yang berkeringat. "Kenapa gue nggak belajar dari pengalaman, kalau lelaki itu hampir sama, nggak ada beda. Kalaupun ada yang beda, seribu satu sifatnya. Aih, aih..." Aliya berdecak, bergidik geli mengingat kebodohannya.

Fitri langsung masuk ke rumah menantunya setelah beberapa kali menekan bel, tapi tak kunjung ada sahutan. Fitri melangkah ke dapur mencium aroma masakan, dan benar saja putrinya sedang memasak. "Masak apa, Al?"

Aliya tersentak kaget nyaris melompat, memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya berbalik. "Ibu kapan datang? Kenapa nggak bilang dulu mau berkunjung?" tanya Aliya, tersenyum kaku. Salah satu faktor pendukung dirinya menerima pernikahan ini adalah agar bisa terhindar dari orang tuanya.

"Baru aja, Ibu pengen ketemu Alea, sekalian lihat perkembangan kamu ada perubahan atau enggak, dan ternyata ada, walau sedikit."

Aliya mencengkeram sepatula kuat, tersenyum lebar. "Memang aku kenapa, Bu? Super hero bukan, harus berubah segala," jawab Aliya dengan nada setengah bergumam.

Dengan entengnya Fitri duduk di kursi makan, mengangkat bahu tak acuh. "Ibu bimbang sama sifat cuek kamu, Al, ditambah Kayla melangkahi kamu. Pria-pria yang kamu bawa ke rumah, pasti ada yang nggak beres."

Aliya mematikan kompor, melangkah ke meja makan. "Kalau sifat, udah dari sananya, Bu, aku nggak bisa nolak, apalagi ngelak." Aliya duduk di kursi samping, mengetukkan jari telunjuknya ke meja. "Dan masalah dilangkahi, aku yakin banget itu mitos, Bu, buktinya, sekarang aku menikah, kan?"

Fitri menggeleng, memijat keningnya yang mendadak terasa pening. "Iya memang, kamu menikah, tapi sama duda anak satu, bekas adik kamu. Nggak malu? Terus, usia kamu udah 33 tahun dan baru menikah, mau punya anak umur berapa tahun, Al?"

Bahu Aliya melemas, meringis. "Ibu sama Bapak yang nyuruh aku nikah sama Arka, bukan salah aku, dong." Aliya sedikit tersinggung dengan kalimat 'bekas' yang dilontarkan ibunya. "Nggak punya anak pun nggak masalah, Bu, sudah ada Alea ini. Sama-sama sedarah, kan?"

"Susah bicara sama kamu, bawaannya suka bikin Ibu emosi. Coba kalau dari dulu kamu cari pria yang benar, layak dijadikan suami, nasib kamu nggak akan kayak gini."

Aliya tersenyum miris. "Iya, Bu." Aliya berdiri, sorot matanya memancar kehampaan. "Seandainya aku nggak lahir dari rahim Ibu, mungkin nasibku nggak akan begini." Aliya berlalu dari ruang makan, meninggalkan masakannya, melangkah menuju tangga. Pagi-pagi moodnya sudah dibuat berantakan.

Arka menghentikan langkahnya, menunggu Aliya naik. "Masih pagi, Mbak, wajahnya jangan ditekuk," tegur Arka sembari tersenyum hangat.

Raut wajah Aliya datar, mendelik ke arah Arka. "Bukan urusan kamu," jawab Aliya dengan nada datar, hendak menapaki anak tangga terakhir.

Arka menahan pergelangan tangan Aliya, menelisik raut wajah Aliya. "Kenapa, Mbak? Masalah kemarin masih mengganggu? belum selesai sepenuhnya?"

Aliya melirik tangan yang ditahan dan wajah Arka bergantian. Hatinya menjerit, menyesali keputusannya memercayai beberapa faktor pendukung yang dianggap bisa menjamin kesejahteraan hidupnya. Namun nyatanya hanya menambah mata-mata jahanam memandangnya sebelah mata. "Saya lagi nggak semangat berdebat, lepasin, dong."

Perlahan Arka menjauhkan tangannya dari tangan Aliya. "Tapi, Mbak lebih cantik kalau tersenyum. Kalau murung begitu, saya jadi nggak enak."

Aliya mendengkus, menjulurkan tangan, menyentil bibir Arka. "Saya bukan anak remaja, ya." Aliya berdecak, melewati Arka, melangkah ke kamarnya.

Arka mengusap bibirnya, menggeleng-geleng. Memang kakak dan adik selalu berbeda, Aliya dan Kayla memang sangat jauh berbeda. Arka bergidik ngeri, tidak menyangka Aliya searogan itu. Arka menuruni tangga, berbelok menuju ruang makan. Arka nyaris terjatuh melihat perempuan yang duduk membelakanginya dengan rambut disanggul, jantung Arka berdegup keras, menebak ada setan yang kesiangan.

Arka berbalik, hendak meninggalkan ruang makan, tetapi seruan dari suara yang tak asing di telinganya membuatnya kembali berbalik. "Lho, Ibu." Arka menghampiri ibu mertuanya, menyalaminya. "Ibu kapan datang? Mbak Aliya baru saja ke kamar, Bu."

Fitri tersenyum tipis. "Iya, tadi sudah ketemu, kok, Ibu datang ke sini pagi-pagi mau ketemu Alea."

"Oh, Alea belum bangun, Bu, bentar lagi kayaknya bangun."

"Iya, nggak apa-apa." Fitri melirik sekitar, mencondongkan tubuhnya ke arah menantunya. "Gimana sama Aliya, dia nggak bersikap aneh atau menyebalkan, kan?"

Arka duduk di kursi samping ibu mertuanya, mengerenyit tak mengerti maksud dari pertanyaan ibu mertuanya. "Gimana, Ma?"

Fitri menghela napas, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Iya sikap Aliya ke kamu, nggak ada yang bikin ilfeel, kan? Ibu khawatir banget kamu nggak betah sama dia, kan, Aliya sama Kayla itu kayak bumi sama langit. Beda jauh."

Arka tersenyum kaku, mengusap tengkuknya. "Mbak Aliya baik, Bu, sikapnya nggak ada yang aneh." Arka menyimpulkan, Aliya kesal oleh ibu mertuanya.

"Ibu bingung, Ar, kalau kamu nggak setuju menikah sama Aliya, siapa yang mau menikahi Aliya, coba. Sudah tua, sikapnya minus, duh." Fitri mengusap keningnya.

Arka tersenyum samar, tidak enak mendengar ucapan ibu mertuanya tentang Aliya. "Minus pasti ada plusnya, Bu, kita nggak bisa menilai dari minusnya doang."

Tidak lama kemudian Alea menangis, berlarian menuruni tangga, memanggil-manggil ayahnya.

Fitri dengan sigap menghampiri cucunya, melebarkan tangan, menyambut cucunya. "Kenapa cucu Nenek nangis, hem?"

Aliya berkacak pinggang, memperhatikan dari atas, kesal karena Alea selalu menolak bersamanya, dan lebih parahnya selalu mendramatisir keadaan. Anak usia 6 tahun sudah hebat berakting, mungkin besarnya akan menjadi aktris terkenal, cibir Aliya dalm hati.

"Alea nggak mau sama Tante Aliya, Nek."

Saat itu juga Fitri mendongak, menyorot tajam putrinya.

Aliya memasang raut wajah datar.

"Kamu nggak tulus jadi ibu Alea, Al?" sentak Fitri dengan nada tinggi.

Arka memangku Alea, mengusap punggung putrinya. "Aliya tulus sama Alea, tapi mungkin Alea masih kaget sama status Aliya yang berganti jadi ibunya, Bu."

Fitri tersenyum sinis, berdiri menapaki tangga, menghampiri putrinya. "Kita harus bicara!" ajak Fitri mencengkeram pergelangan tangan putrinya, menyeretnya ke arah balkon.

Aliya sudah tahu, dia akan diceramahi dan disudutkan oleh ibunya. Ternyata, menikah saja tak cukup menghentikan dominasi dari ibunya. Mungkin, bila dirinya harus menyusul adiknya dulu, baru ibunya akan sadar.

Ibu Pengganti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang