Dua

4.1K 664 79
                                    

Satu minggu berjalan, setiap malam Aliya dibuat heran dengan sikap Arka. Arka selalu menghindarinya, bahkan pernah dua malam tidur di ruang kerja. Aliya mematut dirinya di cermin, memastikan bahwa penampilannya tidak mengerikan.

"Gue nggak jelek-jelek amat perasaan, beda tipis sama wajah Kayla," gerutu Aliya menekan pipi tirusnya berulang kali. Aliya mendesah frustrasi, berkacak pinggang dengan fakta yang semakin menguatkan dugaannya. "Wah, parah sih kalau beneran nggak normal, terus, gue nggak bisa punya keturunan gitu?" Aliya meringis, bergidik ngeri membayangkan suatu saat dirinya mengetahui 'rahasia' Arka.

Dengan raut wajah datar, Arka masuk ke kemar, mengambil pakaian kerjanya.

Aliya memperhatikan gerak-gerik Arkana dari pantulan cermin. "Berangkat kerja sekarang?" tegur Aliya menghentikan langkah Arka.

Arka menoleh sekilas, kemudian mengangguk.

"Ar, kamu normal nggak, sih?" tanya Aliya dengan nada kesal.

Arka berbalik, keningnya mengerenyit, bingung. "Saya normal, Mbak, sehat juga."

Aliya memutar bola mata malas. "Bukan itu maksud saya! Saya menanyakan tentang selera seksual kamu."

Arka tersenyum tipis, menggeleng-geleng. "Saya masih normal, Mbak," jawabnya dengan nada pelan.

"Terus, kenapa nggak menjalankan tanggung jawab kamu sebagai suami, heh?"

Arka bergeming, mencari-cari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Aliya. "Itu, Mbak," Arka mengusap tengkuk, bingung. "Sebenarnya," Arka menjeda kalimatnya, mengembuskan napas perlahan.

"Kamu kenapa? Homo?" tebak Aliya, menatap penuh selidik pada Arka.

Pupil mata Arka melebar, dengan cepat menggeleng. "Nggak, Mbak!" bantahnya, "saya masih normal."

"Terus?!" suara Aliya meninggi. "Ar, kita hidup di dunia nyata, mau cinta atau enggak, hubungan suami istri sudah menjadi kebutuhan. Namanya kebutuhan, kalau nggak terpenuhi, gimana jadinya?" Aliya berdecak, menggeleng-geleng, menempelkan telapak tangan di kening.

Arka mendesah frustrasi, melangkahkan kaki menuju sofa. Jika dirinya terus bersama dengan Aliya, percekcokan tidak bisa dihindari. "Begini, Mbak, saya jujur aja sama Mbak." Arka duduk, menggerakkan kaki mengurai kegelisahannya.

Aliya menyusul duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan dengan sekesama.

Arka mengangkat pandangan sekilas, kemudian menunduk, memandangi jari-jari tangannya, kemudian memejamkan mata sebelum berucap, "Saya impoten, Mbak."

Aliya melotot, menganga tak percaya. Kepala Aliya mendadak berdenging, ternyata dia salah menikahi seorang pria. Harusnya dia lebih teliti sebelum menerima keinginan orang tuanya. Lalu, bagaimana adiknya bisa hamil bila Arka impoten? "I-impoten? Sejak kapan?"

Arka semakin merapatkan matanya, degup jantungnya terasa melambat. Arka tahu setiap yang diucapkan adalah doa, tetapi tidak ada pilihan supaya Aliya meninggalkannya. "Sejak Kayla mengandung Alea, Mbak."

Aliya tertawa keras, saking kerasnya sampai terdengar sumbang. Aliya terbahak-bahak memegangi perutnya yang mendadak terasa mulas. "Kamu lucu banget, Ar. Ngikutin tren ngeprank pasangan?"

Arka membuka mata, menatap lekat Aliya. "Saya serius, Mbak." Arka berdiri, menghampiri Aliya, kemudian berlutut di hadapan Aliya, merangkum tangan Aliya, meremasnya kuat. "Saya minta maaf nggak jujur dari sebelum kita menikah, saya ikhlas kalau Mbak minta diceraikan."

Tawa Aliya terhenti, sorot matanya terpaku pada bola mata cokelat terang milik Arka yang memancar keteduhan yang mendamaikan hatinya. Aliya menggeleng, menyadarkan diri, melepaskan rangkuman tangan Arka. "Ohoho... kamu pikir, pernikahan kayak keranjang mini market yang bisa ditinggal, atau dipindahkan seenaknya? Meskipun sifat saya absurd begini, saya menjunjung tinggi kesakralan pernikahan."

Kepala Arka tertunduk lesu, ternyata penilaiannya pada Aliya salah. Aliya tidak akan mudah melepaskannya. "Mbak pasti ingin punya keturunan, jadi, rasanya egois banget kalau saya mempertahankan Mbak.

Aliya mengibaskan tangan, mengangkat dagu tinggi. "Bukan masalah, ada Alea. Dia juga darah daging saya, meski nggak terlahir dari rahim saya. Anak Kayla, anak saya juga. Kita besarkan Alea sama-sama kamu nggak usah khawatir, oke."

Ucapan Aliya membuat Arka mengangkat pandangan, tubuhnya menegang, senyum kaku tersungging setelah melihat senyuman tulus dari bibir Aliya. Sekarang, dia sudah menyakiti dua wanita yang baik sekaligus.

***

Seorang wanita masuk ke ruang kerja Aliya, keningnya mengerenyit melihat sahabatnya yang sedang membereskan meja. "Mau kemana, Al?" sapanya menghampiri meja kerja Aliya.

Aliya tersenyum tipis. "Mau jemput anak gue," jawab Aliya dengan suara sumringah.

Cika duduk di ujung meja. "Gimana malam pertama? Sukses? Secara, laki lo kan berpengalaman," goda Cika sembari mengedipkan mata. "Beuh, habis berapa ronde itu?"

Aliya menghela napas. "Habis berapa ronde ya, biasanya sih dari malam sampai subuh. Percaya nggak lo?" sahut Aliya dengan senyum tengil.

Cika berdecak, menggeleng takjub. "Percaya gue, dilihat dari postur tubuh Arka yang tinggi berisi dan ada sembulan ototnya, gue percaya banget seribu persen!" sahut Cika antusias.

Aliya meringis. "Udahlah, bahas begituan kayak lo berpengalaman aja," cibir Aliya kemudian mengambil kunci mobil dan dompetnya. "Gue pergi dulu, nggak lama, kerjaan juga udah beres. Fail buku-buku yang mau dicetak bulan ini udah ada di flashdisk. Oke?"

Cika mengacungkan ibu jarinya, mengatakan pada Aliya untuk berhati-hati. lalu mengambil flashdisk di meja, menyusul sahabatnya keluar ruangan.

Selama di perjalanan, Aliya bersenandung, menggerakkan jari tangannya. Mobil Aliya berhenti di halaman luas taman kanak-kanak tempat Alea bersekolah. Aliya tersenyum lebar melihat Alea keluar dari gerbang sekolah, membuka seftybelt, bergegas keluar mobil ketika melihat seorang wanita menggandeng tangan Alea.

"Eh, eh, eh, kamu siapa berani-berani bawa anak saya, heh?" tegur Aliya menahan tangan wanita tersebut.

Wanita dengan paras manis itu tersenyum, mengangguk sopan. "Saya Dini, Bu, sekretasinya Pak Arka."

Sorot mata Aliya menajam, menelisik wanita tersebut. "Kenapa kamu jemput Alea? Kan saya udah bilang sama Arka, saya yang jemput," sungut Aliya dengan nada sedikit meninggi.

Dini masih setia dengan senyum manisnya. "Pak Arka dihubungi pihak sekolah karena Alea nggak ada yang jemput juga lebih dari satu jam, makanya Pak Arka minta saya buat jemput Alea."

Aliya mengajak Alea agar mendekatinya. "Ayo Alea sama Mama." senyum hangat Aliya tersungging.

Diam-diam, Dini mendelik sinis.

Bukannya mendatangi ibunya, Alea semakin merapat pada sekretaris ayahnya. "Nggak mau, Alea mau sama Tante Dini aja."

Kening Aliya mengerenyit heran, sikap Alea semakin hari semakin aneh. "Alea, Mama udah izin loh sama Papa, kita mau jalan-jalan."

Alea bersembunyi di belakang Dini.

Dini menyeringai. "Mungkin Alea belum bisa menerima Ibu, dimaklumi saja."

Aliya geram dengan sikap arogan yang ditunjukkan wanita badut di depannya itu. Alea bersedekap, mengangkat dagu angkuh. "Kamu siapa? Sekretaris Arka, kan? Kerjaan kamu di kantor, kan? Terus, kenapa kamu berlagak sok tahu dengan urusan pribadi Arka?"

Sorot mata Dini menantang. "Saya bukan berlagak sok tahu, Bu, tapi buktinya memang Alea ketakutan sama Ibu. Apa saya salah?" balas Dini dengan nada menantang.

Aliya mencebik, tersenyum miring, maju dua langkah. "Saya bukan orang baru buat Alea, rasanya aneh kalau Alea mendadak berubah sikapnya." Aliya menelengkan tubuhnya. "Kecuali, ada yang mendoktrin atau berkata aneh pada Alea."

Aliya meraih tangan Alea, memaksa Alea mengikutinya. Peduli setan dengan tangisan Alea, Aliya merasakan kejanggalan dengan sikap sekretaris Arka.

Ibu Pengganti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang