Enam

3.4K 710 46
                                    

Mamak intip jumlah baca sama yang vote jomplang banget, boleh kali yak Mamak target. Minta 350vote dulu, ah, nanti kalo terpenuhi langsung update lagi deh.

Yok ramaikan

Semoga sukaaa

Hepi reading lope~lope

***

Tak hentinya Arka berdecak, memikirkan apa yang terjadi dengan Aliya. Bahkan, Arka bingung harus bagaimana memulai pembicaraan, karena akhir-akhir ini Aliya hanya memasang raut wajah datar dan menganggapnya tidak ada.

Ketukan pintu terdengar disusul Dini yang masuk ke ruangan Arka. Dini tersenyum hangat, sorot matanya berbinar. "Ini berkas yang Mas minta." Dini menyimpan map hijau di meja, berdiri di sebelah Arka. "Kapan Mas menceraikan Aliya?"

Seketika Arka menoleh dengan sorot mata tajam. "Kenapa kamu penasaran?"

Dini mengangkat bahu ringan. "Mas memang harus menceraikan Aliya sebelum bernasib sama seperti adiknya, kan? Aku nggak menjamin mulut ini bakal tertutup lama, bisa menjadi bom waktu seperti saat meledakan Kayla," ucap Dini dengan nada tenang.

Arka mencebik, menggeleng tak habis pikir. "Ternyata firasat Mama nggak meleset sama sekali, kamu bukan wanita baik-baik," kecam Arka kemudian berdiri. "Kamu ingat baik-baik, saya nggak pernah menyesal meninggalkan kamu dan memilih menikahi Kayla, saya juga mempertahankan kamu di sini hanya karena-" ucapan Arka terhenti saat tiba-tiba ketukan pintu terdengar.

OB masuk ke ruangan Arka, meminta izin menyimpan kopi yang Arka pesan, setelah itu OB keluar, pintu ditutup lagi.

Dini mengangkat dagu angkuh. "Aku nggak pernah main-main sama omonganku, Mas. Cepat atau lambat, Aliya harus tahu semuanya!"

Arka berdecak, berkacak pinggang. "Kalau saya nggak menghargai masa lalu kita, sudah saya tendang kamu jauh-jauh," geram Arka dengan penuh penekanan.

"Coba Mas usir aku kayak dulu, hal yang sama akan terjadi lagi sama Aliya, bahkan bisa lebih parah."

Rahang Arka mengetat, tersenyum miring, maju dua langkah. "Kalau kamu berpikir Aliya selemah Kayla, kamu salah. Dia wanita kuat yang baru saya temui." Arka mendorong bahu Dini, berlalu dari ruangannya.

Dadanya bergemuruh hebat, sorot matanya menajam. Lain kali, mungkin Arka akan melakukan penculikan dan membuang Dini sejauh mungkin agar berhenti mengganggu kehidupannya.

***

Aliya menempelkan keningnya ke ujung meja, menarik dan membuang napas kurang kerjaan. Aliya membenturkan keningnya berkali-kali, berharap bisa melupakan perkataan ibunya yang membuat dadanya tak henti berdenyut sakit. Mulanya, Aliya tertawa kecil, semakin lama berubah menjadi tawa sumbang. Aliya menggeleng-geleng, menertawakan diri sendiri yang banyak menunjukkan kekurangan di mata ibunya.

Cika melihat kelakuan aneh sahabatnya hanya bisa menggeleng-geleng. "Ada apa, Al? Masalah keluarga lo lagi?" Cika duduk di sofa, menyeruput kopi pahit milik Aliya. "Bokap sama nyokap lo bikin onar lagi?"

Aliya mendongak sembari menggeram, mengacak-acak rambutnya yang diikat asal. "Gila, dari adek gue masih hidup sama dia udah mati, tetep aja jadi bahan perbandingan, Ka. Gue salah mulu depan mata Ibu, rasanya pengen, euuh!" Aliya mengepalkan tangan kuat, giginya bergemelutuk. "Masalah kemarin aja, gue dikatain sampai ke dasar loh, Ka, bahkan disangkut pautin sama masa lalu gue. Mau Ibu itu apa?!"

Cika mengangguk, kembali menyeruput kopi. "Lo udah tahu Ibu kayak gitu, jangan dimasukin ke hati."

Aliya tertawa miris. "Balik ke pasal satu, orang tua selalu benar, padahal gue kagak tahu apa-apa."

Cika mendekat, menepuk-nepuk pundak Aliya. "Gue tahu perasaan lo, tapi gue nggak mengerti gimana jadi lo. Lo segini udah kuat banget, sih, kalau gue jadi lo, beuh udah negak racun gue."

Aliya mendelik. "Lo secara nggak langsung memberi gue saran, Ka."

Pupil mata Cika melebar, cengengesan, mengibas-kibaskan tangan. "Kagak ada begitu, Al! Gue kan bilang, 'kalau' atau seandainya gitu."

Aliya mendesah frustrasi, menggaruk kepalanya yang terasa panas. "Lagian, kenapa itu si Alea, ketakutan banget sama gue." Seketika Aliya menghadap sahabatnya, melotot, memegangi kedua bahu sahabatnya. "Muka gue emang nyeremin? Ada yang berubah dari muka gue, Ka?"

Cika memicingkan mata, menelisik. "Enggak, nggak nyeremin, cuma kaku doang dikit."

Aliya menghela napas, menjatuhkan tangannya. "Lo terlalu jujur, Ka."

Cika menyengir. "Bukannya Alea baek-baek aja, ya, dulu? Kelihatan nempel banget sama lo."

Aliya mengangkat bahu tak tahu. "Gue juga bingung." Aliya meraih cangkir kopi, keningnya mengerenyit mendapati kopi tinggal ampasnya saja. Aliya melirik tajam. "Lo habisin kopi gue?"

Cika tersenyum kikuk, mengusap tengkuknya. "Hehe, iya, gue minum kopinya juga depan lo, kok. Masa nggak lihat."

Aliya mengangsurkan cangkir kopi pada Cika. "Seduh yang baru, nggak mau tahu!"

Cika mencebik. "Elah, kopi pahit doang segitunya, eh tapi, aneh deh, kok nggak kerasa pahit banget gitu, malah jadi nikmat. Apa gegara bukan gue yang bikin, ya?"

Aliya melempar bantal sofa pada Cika, bibirnya komat-kamit menahan makian yang sudah di ujung lidah.

"Iya, iya, gue buat sekarang." Cika bergegas ke dapur.

Aliya mengusap wajah kasar. "Ya Tuhan, cobaan hidup hamba banyak banget, jangan dirapelin. Dikit-dikit biar enak gitu menyelesaikannya," keluh Aliya sembari mendongak menatap nanar plafon ruang percetakan. Siapa tahu jika dirinya mengeluh seperti ini, Tuhan berbaik hati mengangkat sedikit demi sedikit masalahnya. Misal, rengekan Alea begitu.

Ibu Pengganti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang