Empat

3.5K 665 59
                                    

"Mbak, saya bisa jelasin, Mbak!" Arka mengejar Aliya yang berjalan cepat menuruni anak tangga. "Mbak." Arka berhasil menggapai tangan Aliya, menahannya. Napas Arka terengah, keringat mengaliri kening serta pelipisnya.

Wajah Aliya merah padam, matanya melotot tak suka. "Lepasin, nggak?" perintah Aliya dengan nada setengah mengancam.

Arka menggeleng tegas, mengeratkan pegangannya. "Saya jelaskan, Mbak, bukan maksud saya menipu, Mbak." Arka menuruni dua anak tangga, tinggal sejengkal lagi jarak mereka.

"Lepasin!" Aliya memberontak, menuruni satu anak tangga. "Kalau kamu nggak lepasin juga, saya teriak sampai kedengaram keluar rumah, nih?" Aliya masih berusaha dengan ancamannya.

Dengan berani, Arka mengikis jarak di antara mereka, berdiri berhadapan dengan Aliya. "Saya beneran minta maaf, nggak ada niat saya mau nipu Mbak."

Aliya mendengkus, melengos. "Lepasin!"

"Saya bakal lepasin, asal Mbak mau dengar dulu penjelasan saya, ya?" bujuk Arka dengan lembut.

Aliya menghela napas panjang. "Oke, lepasin dulu tapi."

Arka tersenyum lega, mengangguk, perlahan melepaskan genggamannya. "Saya jelasin di kamar, ya?"

Aliya tersenyum paksa. "Sebentar, kayak ada serangga yang gigit kaki saya." Aliya mengentakkan kakinya beberapa kali, lalu membungkuk untuk melihat ke bawah, mengangkat sandal yang dia pakai, secepat kilat menghantamkan sandalnya ke wajah Arka. "Makan tuh penjelasan!" Aliya berlari menuruni anak tangga, setelah sampai di lantai dasar, berbelok menuju kamar halaman belakang.

Arka meringis, mengusap wajahnya yang berdenyut perih, menjalar sampai ke telinganya. Arka berdecak, menyerukan nama Aliya sambil kembali mengejar. Arka tak habis pikir kebohongannya sangat mudah terbongkar hanya karena kelakuan kakak iparnya.

Aliya mengunci pintu kamar yang terletak di halaman belakang, menempelkan punggungnya di balik pintu, mengatur napas agar kembali normal. Dalam batinnya, Aliya mengumpat, merutuki kebohongan Arka dan kebodohannya yang percaya begitu saja. Secara tidak langsung Aliya merasa diledek oleh Arka, padahal dirinya adalah pembohong ulung dalam segala hal.

Aliya mengusap kening, berkacak pinggang, berdecak berkali-kali. "Masa kadal bisa bohongin buaya, sih?" cibir Aliya pada dirinya sendiri. "Terus, gimana kedepannya rumah tangga gue sama si kadal buluk? Minta cerai? Nggak lucu kalau minta cerai gegara impoten bohongan." Aliya menggeleng-geleng, memijat keningnya yang mendadak berdenyut. "Aih, minta ditimpuk pakai barbel tuh kadal."

Tidak lama kemudian ketukan pintu terdengar, disusul suara Arka. "Mbak! Buka pintunya, Mbak, kita harus selesaikan kesalahpahamannya malam ini," teriak Arka dari luar.

Aliya menghadap pintu, memutar bola mata malas. "Eh, Bambang! Bukan salah paham, ya, ini sih kamu yang mulai duluan," balas Aliya berteriak.

Arka menempelkan keningnya di pintu, berpikir keras agar bisa berbicara dengan Aliya. "Iya, saya ngaku salah, tapi saya minta sekali aja bukain pintunya," pinta Arka dengan nada memelas.

"Enggak! Sampai saya lupa sama kebohongan kamu!"

"Kapan?"

"Sampai kamu jadi kakek-kakek terus balik muda lagi!"

Arka menepuk keningnya, mendesah frustrasi. "Saya mohon jangan kekanak-kanakan, Mbak."

Aliya mencibir, menggerakkan bibirnya mengejek Arka. "Bodo amat!"

"Oke, kalau pintunya nggak mau dibuka, saya dobrak, nih?" ancam Arka dengan nada serius.

Bibir Aliya membulat, lalu tertawa tanpa suara sembari memegangi perutnya. "Kayak kuat aja, Bang!" kemudian tawa Aliya pecah karena ancaman Arka terdengar seperti lelucon di telinganya. Mana ada orang bisa mendobrak pintu dari kayu jati, bahkan yang berotot pun bisa langsung punya penyakit encok setelah berusaha mendobrak pintu. 

Wajah Arka memerah, mundur lima langkah. "Jangan salahin saya kalau badan Mbak kedorong pintu. Saya hitung mundur, udah ancang-ancang, nih!" geretak Arka memamg sudah siap mendobrak pintu.

Tawa Aliya terhenti, seketika dilanda panik. "Eh, nanti kusennya rusak gimana?"

"Siapa peduli, tinggal beli yang baru!" sorot mata Arka menajam. "Satu... dua..."

Aliya menimbang antara dibuka atau dibiarkan saja Arka terkena encok, atau salah urat, tapi jiwa kebaikannya meronta, mengingatkan pengeluaran perbaikan pintu.

"Tiga!" Aliya membuka kunci pintu, bersamaan dengan Arka yang hendak mendobrak langsung masuk ke kamar menabrak dinding. Aliya menyeringai, bersedekap, menaik-turunkan alisnya menantang Arka.

Arka meringis, mengusap tangan dan rahangnya yang menabrak dinding secara kuat. "Mbak niat banget nyiksa saya," keluh Arka kemudian berbalik mengusapi lengan atasnya.

"Kalau nggak salah pernah bilang kalau saya lebih tua dari kamu, pengalaman saya juga bukan kaleng-kaleng."

Lutut Arka bergetar, melangkah perlahan mendekati tempat tidur, duduk di sana. "Iya, Mbak, saya percaya." Arka mengatur napas, memijat lengan atasnya yang terasa kebas. "Lengan saya sakit, Mbak." Arka menunjukkan lengannya ke arah Aliya.

Sebelah alis Aliya naik, tersenyum tipis. "Tadi juga saya udah tanya, memangnya kamu kuat, eh kamunya ngotot mau dobrak pintu. Salahkan saja ego kamu yang tinggi."

Arka mencebik. "Kayak ego Mbak nggak tinggi aja," cibir Arka refleks.

Aliya melotot. "Ego saya memang udah dari sananya tinggi, mau apa kamu? Kamu nego? Nggak akan bisa!" sungut Aliya tak terima.

Arka melambaikan tangan, menggeleng-geleng. "Saya salah bicara, ego saya baru-baru ini tingginya, nggak akan bisa saingi punya Mbak."

Aliya mengibaskan rambutnya. "Saya kasih waktu satu menit buat menjelaskan, dimulai dari sekarang. Satu." Aliya memetikkan jari sembari terus menghitung.

Arka yang sudah pasrah hanya mendesah pasrah mulai menjelaskan. "Saya punya dosa besar sama Kayla yang saya sendiri bingung gimana cara menebusnya, akhirnya saya menyiksa diri sendiri dengan mengaku impoten dan menanamkan juga pada diri sendiri kalau saya impoten. Dengan begitu, nafsu dalam diri saya hilang." Arka tidak bertele-tele langsung pada intinya, karena dia tahu, Aliya hanya ingin membuatnya panik, lalu mempermaikannya.

Aliya menghentikan hitungannya, menatap penuh selidik. "Kesalahan apa yang kamu lakukan sama Kayla? Teh celup?"

Arka tertunduk lesu, menggeleng. "Bukan, Mbak," sanggah Arka kemudian berdiri.

"Terus?"

Arka tersenyum tipis. "Saya rasa segitu aja udah cukup, kalau merambat sampai kemana-mana saya yakin Mbak bakal ninggalin saya." Arka melangkah sampai di ambang pintu menghentikan langkahnya, berhadapan dengan Aliya. "Karena saya baru sadar, ternyata saya mulai nyaman sama Mbak, dan saya belum mempersiapkan diri buat kehilangan lagi." setelah mengatakan itu, Arka keluar dari kamar.

Aliya menempelkan telapak tangannya di dada, jantungnya berdegup cepat. Aliya mengerjap berkali-kali kemudian memaki. "Sialan! Kadal itu mau merangkap jadi buaya juga!"

Ibu Pengganti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang