Dua Puluh

4.2K 669 67
                                    

Suasana hati Aliya sedikit membaik, menghabiskan berbagai makanan yang dipesan dan juga menyelesaikan pekerjaannya. Sudah tiga hari Aliya menjadi penghuni di rumah cetak, masa menenangkan diri belum selesai.

Gedoran pintu utama terdengar nyaring, Aliya mengabaikan gedoran tersebut membiarkan Satpam yang mengurusnya. Senyap beberapa saat, gedoran pintu semakin nyaring, Aliya menghela napas, beranjak dari duduknya, melangkah keluar ruangan untuk melihat siapa perusuh di pagi hari ini.

Pintu dibuka, Aliya mendengkus, memutar bola mata malas saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.

Sedangkan yang di seberang Aliya tersenyum lega, matanya berbinar cerah. "Ternyata benar Mbak di sini, saya baru kepikiran percetakan setelah cari Mbak dimana-mana nggak ada," ungkapnya terdengar penuh kelegaan.

Aliya menghela napas. "Kamu nyari saya dimana? Di lubang semut? Apa di liang lahat?" cecar Aliya dengan nada ketus. "Lagian, buat apa kamu nyari saya? Semuanya sudah jelas, lho."

Arka meraih tangan Aliya, menggenggamnya erat. "Mbak, saya tahu itu kesalahan saya, tapi kasih saya kesempatan buat memperbaikinya, Mbak."

Aliya melirik tangannya, berusaha melepaskan genggaman tangan Arka. "Kesempatan apa, Ar? Saya sudah kasih kamu lebih dari kesempatan yang diminta, lho, saya akan lebih bisa memaafkan bila kebenaran itu datang langsung dari pelakunya, bukan dari orang lain. Lagian, itu dosa kalian, saya nggak berhak buat marah karena dosanya bukan saya yang tanggung."

Aliya mundur tiga langkah. "Daripada kamu mencari-cari Ibu Pengganti buat Alea, lebih baik kamu datangi Dini, dan biarkan Dini menjalani peran sebagai Ibu." Aliya hendak menutup pintu, tetapi Arka dengan cepat menahan pintu menggunakan tubuhnya. "Awas, Ar!"

"Mbak, saya memang salah, salah banget, tapi saya nggak bisa membiarkan kondisi kita seperti ini," cegah Arka dengan nada memelas.
Aliya mendorong tubuh Arka agar menjauh dari pintu. "Kondisi kita yang seperti apa? Kita harus berpisah, saya bukan orang sabar, tapi saya memuji diri sendiri karena bisa bersabar walau nggak sabar-sabar banget," ujar Aliya dengan nada santai. Dia tidak mau merusak suasana hati yang mulai membaik, perasaan menjadi pengecut hanya membuat dirinya semakin tenggelam dalam keterpurukan.

"Mbak, sekali aja, Mbak, kasih kesempatan saya buat bicara. Mbak dengar dari Dini, kan? Sekarang, biar Mbak dengar dari saya agar lebih jelas."

Aliya menggeleng. "Saya sudah minta itu dari kemarin, tapi kamu bilang nggak ada. Berarti, apa yang dikatakan dia memang benar, kan? Nggak ada yang dikurangi."

Arka menghela napas panjang, menahan pintu dengan kedua tangannya. "Nggak ada yang dikurangi, mungkin dilebihkan." Sekali hentakkan, Arka membuka pintu lebar, memeluk Aliya erat.

Aliya terpaku beberapa detik, tersadar ketika Arka mengusap kepala belakangnya. Aliya meronta, meminta dilepaskan. "Lepaskan! Saya bakal kasih ganjaran setimpal atas kelancangan kamu ini, ya!"

Bukannya mengendur, Arka malah semakin mengeratkan dekapannya. "Jantung saya berdebar cepat setiap berdekatan sama Mbak, bahkan hati saya seperti dililit setiap kali merasa gagal menarik perhatian Mbak. Saya nggak mengatakan itu, karena saya takut Mbak semakin jauh dari jangkauan saya." Arka mengirup aroma bunga yang menguar dari rambut Aliya. "Alasan saya itu."

Aliya memutar bola mata jengah, berhitung dalam hati, sekuat tenaga mendorong tubuh Arka. Pelukan terlepas, Aliya menggerakkan tangan, dan kepalanya bersamaan, sorot matanya menajam, bibirnya membentuk garis lurus. "Kamu pernah dengar, ada seribu satu alasan yang bersarang di otak pria, dan alasan yang kamu berikan ke saya itu nggak masuk di otak saya." Aliya maju tiga langkah, mengikis jarak antara dirinya dengan Arka. "Asal kamu tahu, kamu di mata saya sekarang nggak lebih dari seorang pria berengsek yang ikut terlibat dalam penderitaan Kayla. Sekarang pergi dari sini baik-baik, atau saya patahkan kaki kamu sampai benar-benar nggak bisa keluar dari sini?" tawar Aliya dengan nada mengancam. Sebelah alis Aliya terangkat menunggu jawaban Arka, tangannya sudah gatal ingin memberikan pelajaran pada tangan lancang Arka.

Arka banyak belajar dari pengalaman, Aliya tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dengan terpaksa Arka mundur melewati pintu rumah dan saat itu juga pintu tertutup keras di hadapan wajahnya. Arka mendesah frustrasi akan sikap Aliya, tetapi tak menyurutkan semangatnya untuk terus memperjuangkan Aliya.

Arka bergegas berbalik meninggalkan halaman rumah percetakan, dia berniat mendatangi Dini, berharap agar tidak kehilangan kendali saat menghadapi Dini.

Sementara di dalam rumah, Aliya hanya menghela napas panjang, menggeleng-geleng tak habis pikir. Seluruh tubuh Aliya merinding mengingat kembali saat Arka memeluknya, dia harus meminta Cika untuk mampir ke pasar membeli berbagai macam bunga untuk air mandiannya agar kembali bersih dari sentuhan Arka.

***

Di halaman parkir kos-kosan tempat tinggal Dini, Arka mengusap wajah kasar sesekali berdecak kesal. Dia sudah tidak mau berurusan dengan Dini lagi, tapi dengan sangat terpaksa dia mendatangi Dini untuk meminta penjelasan runut dari apa yang Dini katakan kepada Aliya.

Dengan berat hati Arka keluar dari mobil, menyeret langkahnya mendatangi kamar kos yang ditinggali Dini. Arka mengetuk pintu beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka, disusul Dini dengan pakaian tidur mini.

"Ada apa, Mas? Menyesal?" sambut Dini dengan seringai tipis dan tatapan sinis.

Arka tersenyum miring. "Iya, saya menyesal bisa kenal sama kamu." Arka mendorong Dini masuk ke kamar, dia membiarkan pintu terbuka lebar agar tidak ada fitnah yang semakin memberatkannya nanti. "Kamu mau apa? Uang? kerjaan? Saya kasih, tapi setelah itu, saya mohon pergi jauh-jauh dari kehidupan saya dan Alea. Kamu sudah keterlaluan, Din!" kecam Arka dengan nada serendah mungkin.

Dini meringis, melengos tak suka dengan apa yang dikatakan Arka. "Aku hanya mau kamu bertanggung jawab, menikahiku dan membiarkan aku jadi ibu dari anakku!"

Arka mencebik, membalik badan, mengatur napas untuk meredakan gejolak dalam dadanya. "Saya berpegang teguh sama ucapan Mama untuk nggak menikahi kamu."

Sorot mata Dini menajam, tangannya terkepal kuat. "Kalau sekiranya kita nggak bisa bersama, kenapa kamu menghamili aku?" teriak Dini menendang kursi plastik dekat meja rias. "Kamu nggak tahu kan seberapa menderitanya aku harus jauh dari anak sendiri, hah!"

Arka kembali berbalik menghadap pada Dini. "Saya juga nggak tahu kalau kamu akan segila ini, bukan cuma kamu yang tersiksa di sini, Din, saya juga!"

Dini tertawa sumbang, air mata berderai. "Kamu tersiksa? Kamu malah bahagia mempunyai keluarga kecil, apalagi sekarang kamu jatuh cinta pada Aliya, kan?! Aku nggak terima! Kalau kamu nggak bisa jadi milik aku, orang lain juga nggak boleh milikin kamu. Aku nggak bisa bahagia, kamu juga nggak akan pernah bisa bahagia!"

Arka menjambak rambutnya frustrasi, memandang Dini dengan sorot mata keputusasaan. "Saya sudah bertanggung jawab mengurus Alea, dan membesarkan Alea, itu sudah cukup. Kamu berhak bahagia dengan orang yang tepat, Din."

"Bulshit!" Dini melayangkan tamparan ke pipi Arka. "Kamu tega, Mas!" Dini menyeka air matanya, maju beberapa langkah semakin mendekati Arka. "Aku melakukan berbagai cara agar kamu hanya melihat aku," bisik Dini dengan nada rendah. "Bagaimana jadinya, bila kamu bukan hanya berengsek, tapi juga bodoh?" Sebelah alis Dini terangkat, bibirnya menyunggingkan seringai.

Kening Arka mengerenyit menyerap kalimat terakhir yang Dini katakan padanya.

"Aku hancur, kamu juga harus hancur," imbuh Dini membelai rahang Arka.

Arka berpikir keras, beberapa saat kemudian mendorong Dini sejauh mungkin dari tubuhnya. "Apa maksud kamu?!"

Dini mengangkat bahu tak acuh. "Kayla mati gara-gara apa? Gara-gara tahu Alea anak dari kita, lalu aku tebak, Aliya pergi gara-gara tahu adik dan suaminya mempunyai masa lalu kelam yang terbawa sampai masa kini. Lalu, kamu? Apa kamu akan hancur saat tahu anak yang dibesarkan dan dianggap darah daging sendiri, ternyata anak orang lain?" ucap Dini sembari memutari Arka mengetuk-ketuk dagunya.

Arka menghentikan Dini, tanpa aba-aba menampar pipi Dini hingga wajahnya terlempar ke samping. "Manusia terlaknat!" Setelah mengatakan itu Arka melangkah keluar dari kamar kos Dini, tangannya terkepal hingga buku jarinya memutih, membanting pintu mobil kencang.

Tangan Arka memukul stir mobil, menyumpah serapahi Dini yang berhasil membuatnya hancur.

Ibu Pengganti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang