Sembilan

3.4K 716 76
                                    

Mamak niatnya mo kaclep, tapi nggak hari ini. Mau balesin komentar, keburu tenggelam gegara nungguin hotspotan. 😭 Harap maklum, ya, tapi Mamak coba baca dikit-dikit komentar kalian, yaa..
Hayuk ah gaskeun!

Semoga sukaaa

Hepi reading lope~lope

***

Banyak manusia yang mengira orang-orang di sekitarnya tidak memiliki masalah atau beban berat seperti dugaannya. Namun, kenyataannya setiap orang pasti memiliki masalah dan beban yang bisa membunuh mereka secara perlahan, tidak bisa memukul rata semua orang dengan masalah yang sama. Begitu yang Aliya pikirkan sebelumnya tentang salah satu ketidakadilan dunia kepadanya.

Aliya mengisap dalam asap rokok, mengepulkannya perlahan. Dia sudah berjanji tidak akan merokok, tetapi tekanan di pikiran membuatnya khilaf membeli sebungkus rokok putih bermerek sempurna.

Arka mencari-cari keberadaan Aliya, keningnya mengerenyit melihat Aliya dirundung asap rokok, bergegas Arka menghampiri Aliya. "Mbak merokok? Sejak kapan?" tegur Arka menarik kursi hadapan Aliya, mendudukinya.

Aliya mengepulkan asap dari isapan terakhir, lalu mematikan rokoknya yang tersisa setengah batang lagi. "Sejak kapan, ya?" Aliya memutar bola mata, berpikir. "SMA?" lanjutnya dengan nada santai.

Arka mengibaskan tangan meniup udara agar mengurangi asap yang berpindah merundungnya. "Saya nggak nyangka." raut wajah Arka menunjukkan ketidakpercayaan, karena baru pertama kali melihat Aliya merokok selama mengenalnya.

Aliya tersenyum tipis. "Hampir 3 bulan berhenti, karena terlalu stres nggak bisa mikir ya udah sebatang-dua batang nggak masalah kali, ya." Aliya tidak terlalu peduli dengan penilaian Arka tentangnya nanti, yang penting dirinya tetap mempertahankan diri sendiri tanpa harus menjadi orang lain untuk menghargai orang di sekitarnya. "Kenapa, Ar? nggak suka sama perempuan yang merokok? terkesan nakal?" cecar Aliya masih dengan nada santai.

Arka mengerjap, menggeleng-geleng. "Bukan begitu, Mbak, tapi lebih ke kaget aja lihat sisi liar, Mbak."

Aliya tertawa kecil. "Sisi liar?" Aliya mencondongkan tubuhnya mendekat pada Arka. "Mau lihat sisi liar yang lebih dalam lagi?" Bisik Aliya dengan nada menggoda.

Arka menelan ludah kesusahan, bergidik dengan sikap Aliya.

Aliya tertawa lebih kencang. "Udahlah jangan bahas itu, ngapain kamu ngajak saya makan siang di sini?"
Diam-diam Arka mengembuskan napas lega, tangannya merambat menepuk dada pelan. "Saya mau memberi peluang buat kita lebih dekat, Mbak."

Aliya berpikir sejenak. "Saya udah pernah nolak kamu belum, sih?"
Pertanyaan Aliya membuat kening Arka mengerenyit bingung. "Kok, Mbak tanya begitu?"

"Jawab dulu."

"Belum, kan saya yang sering nolak, Mbak," jawab Arka dengan nada polos.

Aliya menepuk keningnya, mengangguk, membenarkan. "Berarti, giliran saya nolak kamu, ya? Saya tolak nggak apa-apa, ya?"

Arka meringis. "Jangan ditolak dong, Mbak, biar ada kemajuan buat hubungan kita kedepannya."

Aliya berdesus, menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Saya nggak mau ada kedekatan sama Kadal kayak kamu, mending jalani aja apa yang ada. Jangan ditambah-tambah apalagi sampai dikurangi." Memulai kedekatan dengan Arka hanya akan membuatnya terpaku dan tidak berprinisip lagi. Belajar dari masa lalunya yang menyakitkan, Aliya menerapkan hati dan pikirannya untuk lebih mencintai diri sendiri tanpa memasukkan orang lain kedalamnya, meski Aliya tahu risikonya adalah kesepian.

Arka menghela napas panjang, menatap lekat Aliya. "Mbak nggak mau berpikir dulu sebelum menolak? Nanti menyesal, Mbak."

Aliya bersedekap, memutar bola mata jengah. "Nggak, kamu juga nolak saya nggak berpikir dulu, ngapain saya harus mikir-mikir."

Arka semakin yakin dengan niatnya untuk memperbaharui hubungan mereka menjadi lebih baik lagi, merangkul Aliya dari kesepian. "Kalau begitu, semakin Mbak nolak saya, semakin saya kejar, Mbak."

Sebelah alis Aliya terangkat, bibirnya menyunggingkan seringaian. "Mau main kejar-kejaran? Ayo, siapa takut."
Arka tertawa geli, kemudian berdiri. "Ya sudah, karena siang ini saya sudah ditolak, saya pamit undur diri dulu."

Aliya mengibaskan tangan, mengusir Arka.

Baru dua langkah, Arka mencolek bahu Aliya hingga mendongak ke arahnya. Arka tersenyum lebar, menganjurkan tangan, merangkul leher Aliya, membungkuk, mengecup bibir Aliya sekilas. "Sampai ketemu di rumah, Mbak Istri," goda Arka sembari mengedipkan mata.

Aliya dibuat menganga dengan sikap Arka, mengerjap beberapa kali, menggeleng-geleng. Aliya menelengkan tubuhnya, menyorot tajam punggung Arka yang mulai menjauh, memaki dalam hatinya.

Gawai Aliya berdering, nama ibunya tertera di layar. Aliya mengembuskan napas, menjawab panggilan ibunya.

"Alea menginap di rumah Ibu, kapan mamanya Arka pulang ke rumah kalian? Ibu capek kalau terus-terusan mengurus Alea."

Aliya menopangkan lengannya di meja, enggan menanggapi gerutuan ibunya.

"Aliya? Kamu dengar Ibu bicara nggak, sih?"

Aliya menjawab sekenanya, membiarkan ibunya kembali menggerutu. Sepanjang mendengar keluhan bercampur omelan ibunya, Aliya berpikir, cucu dari anak kesayangannya saja tidak ikhlas bagaimana jika anaknya yang merepotkan, bisa dikasih tikus racun oleh ibunya. "Kemarin Ibu bilang nggak apa-apa depan Arka, terus kenapa sekarang ngomel-ngomel ke aku? Aku nggak minta Ibu ajak Alea ke rumah Ibu."

"Seharusnya kamu peka, Ibu cuma mau disamakan kayak mamanya Arka, dipenuhi kebutuhan dan keinginan. Itu doang kok nggak ada yang peka. Memang sih, Kayla doang yang selalu mengerti maksud Ibu, dia juga sayang banget sama Ibu."

Aliya menghela napas lelah. "Terus, tujuannya Ibu telepon ke sini buang-buang kuota apa?" suara Aliya sedikit meninggi, menarik perhatian beberapa pengunjung di kafe. Aliya tersenyum kikuk, mengangguk tiga kali. Aliya mematikan telepon, mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu membayar kopi yang dia pesan tadi. Aliya memasukkan barangnya ke tas, bergegas keluar dari kafe.

Aliya berdecak saat gawainya kembali berdering, tergesa menjawab. "Apalagi, Bu?"

"Nggak pernah sopan! Ibu belum selesai bicara!"

Aliya memutar bola mata jengah, menekan tombol otomatis membuka kunci mobilnya. "Bu, aku aja nggak pernah merepotkan Arka selama menikah, bahkan jarang makan di rumah. Dan Ibu mau aku meminta Arka memenuhi kebutuhan Ibu sama Bapak?"

"Itu kamu mengerti, karena maksud Ibu menikahkan kamu itu supaya Arka tetap memenuhi kebutuhan kami. Tapi malah diem-diem aja."

Aliya masuk ke mobil, menutup pintu kasar. Dadanya sudah bergemuruh mendengar ucapan ibunya, ditambah nada bicara ibunya yang selalu meninggi membuat kekesalannya semakin membumbung tinggi. "Ibu masih ada Bapak yang kerja, dan kalian nggak kekurangan, kalau memang kurang, biar aku yang tambah, nggak usah minta Arka."

"Bener, ya, kamu sama Kayla beda banget. Kayla rela berkorban buat Ibu dan Bapak."

Tangan Aliya terkepal kuat, napasnya memburu. "Ya udah Ibu minta Kayla bangkit dari kubur aja, suruh dia balik lagi sama Arka." Aliya mematikan telepon, membanting sembarang gawainya. Berkali-kali dia memukul stir mobil, melantunkan makian-makian dengan bibir tebal kecilnya.

Ibu Pengganti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang